-->

Iklan

Modul I Persiapan Prakondisi Di Plpg 2017 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia


Pada acara prakondisi pada PLPG 2017 seperti dikutip dari www.sertifikasiguru.id., Peserta PLPG 2017 wajib mempelajari Modul Pedagogik dan Modul Pendalaman Materi Bidang Studi secara sanggup berdiri diatas kaki sendiri dan sanggup diunduh melalui laman sertifikasiguru.id

(PETUNJUK PELAKSANAAN PRAKONDISI DI PLPG 2017 BISA DIUNDUH DI SINI)



Sebagai persiapan pendalaman modul Materi Bidang Studi Bahasa Indonesia di prakondisi PLPG 2017 kami sajikan Modul 1 Pendalaman Bidang Studi Bahasa Indonesia. Modul ini merupakan modul pada PLPG 2016. Pada modul 1 ini dibahas banyak sekali aliran linguistik.





BERBAGAI ALIRAN LINGUISTIK
Drs. Azhar Umar, M.Pd




KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016







BAB I
BERBAGAI ALIRAN LINGUISTIK


A. Tujuan
Setelah mempelajari sumber berguru ini, guru diperlukan sanggup memahami dan menyebarkan materi pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan aliranaliran linguistik struktural, deskriptif, dan fungsional.
B. Kompetensi dan Indikator Pencapaian Kompetensi

Kompetensi Guru Mata
Pelajaran
Indikator Pencapaian Kompetensi
Memahami konsep, teori, dan
materi banyak sekali aliran linguistik
yang terkait dengan
pengembangan materi
pembelajaran bahasa.
1. Mengidentifikasi teori linguistik struktural
yang terkait dengan pembelajaran materi
fonologi bahasa Indonesia dengan tepat.
2. Mengidentifikasi teori linguistik strutural
yang terkait dengan pengembangan
materi kelas-kata bahasa Indonesia
dengan tepat.
3. Mengidentifikasi teori linguistik deskriptif
yang terkait dengan pengembangan
materi kelas kata bahasa Indonesia
dengan tepat
4. Mengidentifikasi teori linguistik
fungsional yang terkait dengan materi
pembelajaran sintaksis bahasa Indonesia
dengan tepat.
5. Mengidentifikasi teori linguistik struktural
yang terkait dengan materi pembelajaran
morfologi bahasa Indonesia dengan
tepat.

6. Mengidentifikasi teori linguistik struktural
yang terkait dengan materi pembelajaran
sintaksis bahasa Indonesia dengan tepat.
7. Mengidentifikasi teori linguistik
fungsional yang terkait dengan materi
pembelajaran morfologi bahasa
Indonesia dengan tepat.
8. Mengidentifikasi teori linguistic deskriptif
yang terkait dengan materi pembelajaran
morfologi bahasa Indonesia dengan
tepat.
9. Mengidentifikasi materi pembelajaran
morfologi bahasa Indonesia berdasarkan
aliran deskriptif dengan tepat.
10. Mengidentifikasi materi pembelajaran
fonologi bahasa Indonesia berdasarkan
aliran deskriptif dengan tepat.
11. Mengidentifikasi materi pembelajaran
kelas kata bahasa Indonesia berdasarkan
aliran fungsional dengan tepat.


C. Uraian Materi
1. Aliran Linguistik Struktural
1.1 Konsep dan Objek Telaah
Linguistik struktural ialah pendekatan dalam penyelidikan bahasa yang menganggap bahasa sebagai sistem yang bebas (Kridalaksana, 2008: 146). Aliran linguistik struktural lahir di Perancis pada awal kala XX bersamaan dengan diluncurkannya buku ”Course de linguistique Generale” karya Ferdinand de Saussure pada tahun 1916. Saussure memandang bahasa sebagai suatu struktur sehingga pendiriannya dipandang sebagai linguistik struktural atau structural
linguistics
. Melalui bukunya itu, Saussure memaparkan pandangan-pandangannya mengenai: (1) telaah sinkronik dan diakronik bahasa, (2) pembedaan langue dan parole, (3) pembedaan signifiant dan signifie, serta (4) hubungan sintagmatik dan paradigmatik (Endang, 2016: 4).
Telaah sinkronik bahasa tidak lain ialah telaah bahasa dalam kurun waktu tertentu. Kata sinkronik sendiri berasal dari bahasa Yunani syn yang berarti ‘dengan’ atau ‘bersama’ dan khronos yang berarti ‘waktu’. Di dalam telaah sinkronik, setiap bahasa dianalisis tanpa memperhatikan perkembangnnya pada masa lampau. Bahasa Indonesia, misalnya, sanggup dianalisis tanpa mempedulikan perkembangannya dari bahasa Melayu Klasik. Yang tampak dalam analisis sinkronik ialah apa yang lazim disebut struktur, contohnya hubungan antara
imbuhan dan kata dasar, hubungan antar-bunyi, hubungan antar-bagian kalimat dan sebagainya.
Telaah diakronik ialah telaah bahasa sepanjang waktu atau penyelidikan ihwal perkembangan suatu bahasa. Kata ‘diakronik’ berasal dari bahasa Yunani dia yang bermakna ‘melalui’ dan khronos yang bermakna ‘waktu’. Secara sederhana, kata diakronik sanggup diartikan sebagai studi antarwaktu. Apabila telah diakronik dilakukan terhadap bahasa Indonesia, maka akan tampak bahwa bahasa Indonesia kini berbeda dari bahasa Melayu Klasik atau Melayu Kuno yang
merupakan cikal bakalnya. Bahasa Melayu Kuno mempunyai awalan mar- yang kemudian bermetamorfosis me- dan ber- di dalam bahasa Melayu Klasik dan bahasa Indonesia sekarang.
Untuk membandingkan telaah sinkronik dan diakronik terhadap bahasa, Saussure memperlihatkan gambaran berikut. Kalau kita membelah batang tumbuhtumbuhan dari atas ke bawah, maka akan tampak struktur tertentu. Kalau batang yang sama kita potong secara horisontal, maka akan tampak juga suatu struktur, tetapi berlainan sekali dari struktur hasil belahan vertikal di atas. Penampang lintang hasil memotong batang sanggup kita bandingkan dengan struktur sinkronik,
sedangkan penampang bujur hasil membelah batang sanggup kita sejajarkan dengan struktur diakronik (Verhaar, 1981: 6-7).
Langue adalah keseluruhan sistem tanda yang bersifat abnormal yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antar-anggota suatu masyarakat bahasa. Karena berbasis masyarakat bahasa, dengan demikian, langue mengacu kepada bahasa tertentu, menyerupai bahasa Indonesia, bahasa Aceh, bahasa Sunda, dan lain-lain. Langue bersifat sosial lantaran kehadirannya merupakan konvensi atau komitmen di antara sekelompok pemakai bahasa. Karena bersifat sosial, individu pemakai bahasa tidak sanggup mengubah atau memengaruhi perkembangn langue sesuka
hati.
Parole merupakan realitas fisik bahasa yang berbeda wujudnya pada satu individu dengan individu lain dalam masyarakat bahasa yang sama. Parole berwujud lebih konkret dan berciri individual. Sebagaimana dikemukakan Oka dan Suparno (1994: 60), parole terjadi dari pilihan perorangan yang jumlahnya tidak terbatas; banyak sekali pengucapan dan kombinasi-kombinasi baru. Jika kajian ilmiah diarahkan kepada parole, pemerian terhadapnya akan menjadi dan bersifat takterbatas.
Signifiant adalah gambaran dari suara atau kesan psikologis suara yang timbul dalam alam pikiran , sedangkan signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita. Dengan kata lain, signifiant adalah pelambang, sedangkan signifie adalah sesuatu atau hal yang dilambangkan. Tidak terdapat hubungan yang logis atau rasional antara signifiant dengan signifie. Tidak sanggup dijelaskan secara rasional mengapa himpunan suara /k/, /u/, /d/, /u/Hubungan keduanya bersifat arbitrer atau mana suka.
Hubungan sintagmatik ialah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan, yang tersusun secara berurutan, dan bersifat linear. Dengan demikian, hubungan sintagmatik merupakan hubungan antar-unsur bahasa yang hadir di dalam satu tuturan. Di dalam tuturan itu, unsur-unsur yang berelasi diucapkan.
Di dalam bahasa tulis, unsur-unsur itu juga dituliskan. Karena semua unsur yang berelasi atau berafiliasi itu hadir, maka disebutlah hubungannya dengan hubungan sintagmatik. Sintagma ialah satuan yang terdapat dalam tuturan yang terbentuk dari dua unsur secara horizontal. Apabila sebuah tuturan sanggup disimbolkan dengan XY, tuturan tersebut mengandung sintagma yang terdiri atas X dan Y. Di dalam bahasa Indonesia, pada tataran fonologi, misalnya, terdapat bunyibunyi /b/, /a/, /t/, dan /u/. Hubungan sintagmatik antara bunyi-bunyi tersebut sanggup melahirkan macam-macam bentuk, menyerupai batu, buta, atau buat.
Hubungan paradigmatik ialah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam tuturan dengan unsur-unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan. Unsur-unsur yang tidak hadir itu merupakan unsur yang diasosiasikan. Kata-kata kekerabatan, misalnya, mempunyai hubungan-hubungan asosiatif. Pilihlah kata kekerabatan saudara sebagai contoh. Ketika digunakan, kata ini mempunyai asosiasi atau berparadigma dengan kata-kata adik, kakak, paman, dan sebagainya (Oka dan Suparno, 1994: 77). Padahal, kata-kata yang disebutkan
terakhir ini tidak hadir di dalam tuturan atau tulisan.
Aliran linguistik struktural sangat berkembang di Amerika pada 1930-an yang kemudian melahirkan Tata Bahasa Struktural Amerika (TSA). TSA dipelopori oleh Charles F. Hockett, Edward Sapir, dan Leonard Bloomfield. Di antara tokoh-tokoh ini, Bloomfield-lah yang paling besar lengan berkuasa dan memilih arah TSA. Bloomfield sudah mencetuskan pikiran-pikirannya mengenai TSA melalui bukunya An Introduction to Linguistic Science. Ia pun pernah menuangkan pikiran-pikirannya melalui majalah Langue tentang ilmu bahasa umum dan bahasa-bahasa tertentu yang sangat besar lengan berkuasa pada zamannya. Namun demikian, puncak ide
Bloomfield yang sesungguhnya tertuang di dalam bukunya Language yang terbit pada tahun 1933.
TSA yang dipelopori Bloomfield beranjak dari psikologi behaviorisme dan kebijaksanaan positivisme yang tumbuh lebih banyak didominasi di Amerika semenjak 1920. Menurut penganut behaviorisme, tingkah laris insan bisa diterangkan berdasarkan situasi-situasi eksternal – bebas dari faktor-faktor internal. Pengaruh behaviorisme tampak sekali saat Bloomfield memperlihatkan uraian ihwal pemakaian bahasa yang dipandangnya sebagai bentuk tingkah laris inter-relatif antara stimulusrespons.
Sementara itu, berdasarkan kebijaksanaan positivisme, sebuah teori hanya sanggup dianggap benar atau salah semata-mata sesudah diujikan pada data kajian secara konkret. Dengan kata lain, sebuah teori hanya sanggup dibenarkan sesudah ia teruji secara empirik. Itulah sebabnya, dalam kajian bahasa, Bloomfield sangat memerhatikan ujaran atau korpus bahasa lantaran hal itulah yang empirik, paling objektif, dan gampang diamati secara langsung. Bagi Bloomfield, yang tidak sanggup dijelaskan secara objektif harus ditangguhkan pengkajiannya. Pandangan inilah yang mendasari mengapa pengkajian TSA lebih banyak dilakukan terhadap fonologi, sedikit terhadap morfologi, dan amat sedikit mengenai sintaksis. TSA tidak memberi perhatian sama sekali terhadap semantik (Alwasilah,1985:47). Bagi penganut TSA, semantik merupakan studi yang paling tidak objektif dan tidak gampang diamati secara langsung.
TSA berpendirian, penelitian bahasa harus bisa menggambarkan bahasa sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya (Oka dan Suparno, 1994:297). Pikiran ini sejalan dengan kebijaksanaan positivisme yang dianut TSA yang sangat mengutamakan keterujian empirik sebuah kajian. Yang dimasudkan dengan bahasa sebagaimana adanya tidak lain ialah bahasa sebagaiman ia digunakan secara objektif-empirik oleh pemakai bahasa. Karena itulah, Bloomfield pernah menyampaikan bahwa bukti-bukti material dalam ujaran eksklusif sangatlah penting.
Itu pula sebabnya, Bloomfiled selalu mengumpulkan data kebahasaan dari informan.
Dalam pengumpulan data kebahasaan itu, berdasarkan Bloomfield (dalam Wasilah, 1985:79), keilmuan linguistik bergerak mengikuti tahapan-tahapan berikut:
(1) observasi
(2) laporan observasi
(3) pernyataan hipotesis
(4) penghitungan
(5) prediksi, dan
(6) uji coba prediksi melalui observasi lanjut
Dari tahapan pengumpulan data bahasa di atas sanggup ditegaskan bahwa TSA memusatkan perhatiannya pada pendeskripsian dan pengklasifikasian data performansi (performance) atau parole bahasa. Performance adalah tampilan bahasa dalam wujudnya yang ril, atau bahasa sebagaimana ia digunakan untuk berkomunikasi (Simanjuntak, 1987:113). Ini sejalan dengan ide dasar TSA yang menegaskan bahwa totalitas ujaran yang mungkin dihasilkan oleh satu masyarakat ujaran merupakan bahasa masyarakat ujaran itu (Bloomfield, 1939:13).
Dalam pendeskripsian data performansi bahasa itu, TSA melaksanakan analisis formal (analisis bentuk bahasa) dengan struktur bahasa sebagai target kajiannya. Pengkajian struktur bahasa ini dilakukan melalui penggunaan prinsip analisis unsur bawahan eksklusif (immediate constituent), yakni unsur yang secara eksklusif merupakan penggalan dari suatu bentuk yang lebih besar. Dalam penerapan unsur bawahan eksklusif ini digunakan teknik segmentasi. Satu unsur bahasa
disegmentasikan secara sedikit demi sedikit atau hirarkis sehingga diperoleh satuan-satuan pembentuknya. Lebih terang mengenai analisis unsur bawahan eksklusif sanggup dilihat dari analisis kalimat berikut ini. Anisah sudah berguru mengaji.
Kalimat di atas terdiri atas dua unsur langsung, yakni Anisah dan sudah berguru mengaji. Satuan sudah berguru mengaji terdiri atas dua unsur eksklusif yang lebih kecil, yakni sudah berguru dan mengaji. Satuan sudah berguru terdiri atas dua unsur bawahan eksklusif juga, yakni sudah dan belajar.
1.2 Tata Bahasa Struktural
Tata bahasa struktural mengkaji dua aspek penting struktur bahasa, masingmasing morfologi dan sintaksis (Ramlan, dalam Rusyana dan Samsuri (ed.), 1983: 33). Kedua struktur bahasa tersebut akan dibicarakan lebih lanjut pada bahagian berikut.
1.2.1 Morfologi
Morfologi ialah cabang tata bahasa yang membicarakan seluk-beluk pembentukan kata. Berdasarkan bentuknya, berdasarkan tata bahasa struktural, kata sanggup dibedakan atas dua golongan, masing-masing kata asal dan kata kompleks.
Kata asal ialah kata yang belum mengalami proses morfologis (afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan), menyerupai datang, lari, duduk. Kata kompleks ialah kata yang telah mengalami proses morfologis. Karena telah mengalami proses morfologis, kata kompleks sanggup dikelompokkan atas tiga golongan, masingmasing kata (1) kata berimbuhan, (2) kata ulang, dan (3) kata majemuk.
Kata berimbuhan ialah kata yang dibuat melalui proses afiksasi. Afiksasi sanggup berupa prefiksasi atau pemberian awalan, menyerupai kata ‘dibuang’ (di + buang), infiksasi atau pemberian sisipan, menyerupai kata ‘gelembung’ (gembung + el), sufiksasi atau pemberian akhiran, menyerupai kata ‘makanan’ (makan + an), dan konfiksasi atau campuran imbuhan, kata ‘pertalian’ (per + tali + an).
Kata ulang ialah kata yang dibuat melalui proses reduplikasi atau perulangan. Reduplikasi sanggup berupa reduplikasi seluruh, menyerupai tampak pada kata minum-minum; reduplikasi sebagian, menyerupai kata tetangga (dari bentuk asal tangga-tangga); reduplikasi yang berkombinasi dengan afiks, menyerupai terlihat pada kata kemerah-merahan (dari bentuk asal merah-merah + ke-an), dan reduplikasi dengan variasi fonem, menyerupai pada kata bolak-balik.
Kata beragam atau komposisi ialah kata yang dibuat melalui proses pemajemukan atau penggabungan dua kata yang membentuk makna baru, menyerupai jaksa agung, rumah makan, rumah sakit, daya tahan, kambing hitam, dan sebagainya. Konstruksi ini harus dibedakan dari frasa yang kebetulan merupakan campuran beberapa kata juga. Perbedaan keduanya terdapat pada keketatan hubungan antar-kata yang membangunnya. Hubungan antar-kata di dalam frasa
lebih longgar daripada komposisi atau kata beragam sehingga sanggup disisipkan kata-kata lain di antaranya. Misalnya, frasa ‘rumah putih’ masih mungkin disisipkan kata ‘yang’ di antaranya sehingga menjadi ‘rumah yang putih’ Tidak demikian halnya dengan konstruksi komposisi ‘rumah sakit’. Di antara kedua kata yang membangun konstruksi itu tidak sanggup disisipkan kata-kata lain lagi.
Kata kompleks sanggup terbentuk melalui banyak sekali tahapan atau tingkatan. Ada kalanya, kata kompleks terbentuk melalui satu tahapan atau tingkatan saja, menyerupai kata kompleks pakaian. Kata ini berasal dari bentuk asal pakai yang mendapat afiks –an. Jadi, kata kompleks pakaian terbentuk melalui satu tahapan saja. Berbeda halnya dengan kata berpakaian yang terbentuk melalui dua tahapan, yakni pakai + -an (pakaian) + ber- (berpakaian). Pada bentuk berpakaian, kata pakaian menjadi bentuk dasarnya, sedangkan kata pakai menjadi bentuk asalnya. Tahapan atau tingkatan pembentukan kata berpakaian dapat digambarkan sebagai berikut: ber- pakai -an
Ada juga di antara kata kompleks yang terbentuk melalui tiga tahapan atau tingkatan, menyerupai kata berkepemimpinan dan berkepribadian.
1.2.2 Sintaksis
Bagian tata bahasa struktural lainnya ialah sintaksis yang membicarakan seluk-beluk frasa dan kalimat. Karena itu, pembicaraan pada bidang ini terdiri atas dua penggalan besar, yakni frasa dan kalimat.
1.2.2.1 Frasa
Yang dimaksud dengan frasa ialah bentuk linguistik yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak memlebihi satu batas fungsi dalam kalimat, menyerupai subjek, predikat, objek, maupun keterangan. Contoh-contoh frasa, misalnya, pintu baru, sedang makan, rumah paman, dan lain-lain. Bentuk bahasa yang sudah membentuk fungsi subjek dan predikat sekaligus tidak bisa lagi disebut sebagai frasa, melainkan kalimat.
Menurut tata bahasa struktural, pernentuan frasa sanggup dilakukan dengan memakai prinsip unsur eksklusif (UL). Penerapannya sanggup diamati pada contoh kalimat berikut.
Ia lulusan Akbid di kota Medan.
Dari diagram di atas diketahui bahwa kalimat Ia lulusan Akbid di kota Medan terdiri atas UL ia dan UL lulusan Akbid di kota Medan. Selanjutnya, frasa lulusan Akbid di kota Medan terdiri atas UL lulusan Akbid dan UL di kota Medan. Satuan di kota Medan terdiri atas UL di dan UL kota Medan. Dengan demikian, berdasarkan prinsip unsur langsung, dari kalimat di atas diperoleh frasa-frasa berikut:
(a) lulusan Akbid di kota Medan
(b) Akbid di kota Medan
(c) di kota Medan
(d) kota Medan
Frasa kota Medan merupakan satuan frasa yang paling kecil lantaran terdiri atas dua
kata saja, yakni kota dan Medan.
Konstruksi frasa, berdasarkan tata bahasa struktural, mempunyai tipe yang khas. Ada konstruksi frasa yang unsur eksklusif pembentuknya tidak mempunyai posisi yang setara; atau salah satu unsur eksklusif pembentuknya mempunyai posisi yang lebih lebih banyak didominasi daripada unsur eksklusif lainnya dalam frasa tersebut sehingga salah satu unsur eksklusif pembentuknya sanggup mewakili atau mempunyai fungsi yang sama dengan semua unsur langsungnya. Tetapi ada juga konstruksi frasa yang semua unsur eksklusif pembentuknya mempunyai posisi yang setara; atau salah satu unsur
eksklusif pembentuknya tidak mempunyai posisi yang lebih lebih banyak didominasi daripada unsur eksklusif lainnya dalam frasa tersebut sehingga salah satu unsur eksklusif pembentuknya tidak sanggup mewakili atau tidak mempunyai fungsi yang sama dengan semua unsur langsungnya. Tipe frasa yang pertama, yang salah satu unsur langsungnya sanggup mewakili unsur-unsur eksklusif yang lain di dalam frasa itu, lazim disebut frasa endosentris. Tipe frasa yang kedua, yang salah satu unsur langsungnya tidak sanggup mewakili unsur-unsur eksklusif yang lain di dalam frasa itu, lazim disebut frasa eksosentris. Lebih lanjut mengenai kedua tipe frasa di atas sanggup diamati pada contoh-contoh frasa berikut:
(1) petani muda
(2) sawah dan lading
(3) di rumah.
Frasa (1) mempunyai fungsi yang sama dengan salah satu unsur langsungnya, yakni petani. Dengan kata lain, unsur eksklusif petani memiliki posisi yang lebih lebih banyak didominasi daripada unsur eksklusif muda sehingga kata petani dapat mewakili frasa tersebut. Tidak sama halnya dengan frasa (2) dan (3). Frasa-frasa yang disebut terakhir ini tidak mempunyai fungsi yang sama dengan salah satu unsur langsungnya. Dengan kata lain, tidak ada unsur eksklusif frasa yang mempunyai posisi yang lebih lebih banyak didominasi daripada unsur eksklusif lainnya di dalam frasa tersebut. Masing-masing unsur
eksklusif pembentuk frasa tersebut mempunyai posisi yang setara. Untuk mendapat gambaran yang jelas, perhatikanlah penggunaan frasa-frasa di atas di dalam kalimat-kalimat berikut.
(4) Ia seorang petani muda.
Ia petani.
Jadi, kata petani bisa mewakili petani muda.
(5) Putri mempunyai sawah dan ladang.
Putri mempunyai sawah.
Putri mempunyai ladang.
Jadi, masing-masing kata sawah dan ladang tidak bisa mewakili frasa
sawah dan ladang.
(6) Nona sedang di rumah.
Nona sedang di. (x)
Nona sedang rumah. (x)
Jadi, unsur-unsur eksklusif di maupun rumah tidak bisa mewakili frasa di rumah.
Dari deskripsi di atas sanggup disimpulkan bahwa frasa (1) tergolong tipe frasa endosentrik lantaran salah satu unsur eksklusif frasa sanggup berfungsi mewakili frasa tersebut. Frasa (2) dan (3) tergolong tipe frasa eksosentrik lantaran salah satu unsur eksklusif frasa tidak sanggup berfungsi mewakili frasa tersebut.
Konstruksi frasa endosentrik sanggup dikelompokkan ke dalam tiga golongan yang lebih kecil, masing-masing (1) konstruksi endosentrik-atributif, (2) konstruksi endosentrik-koordinatif, dan (3) konstruksi endosentrik-apositif. Satu frasa termasuk ke dalam golongan konstruksi endosentrik-atributif apabila frasa itu mempunyai fungsi yang sama dengan salah satu unsur langsungnya. Unsur eksklusif yang fungsinya sama dengan frasa itu disebut unsur pusat dan yang tidak sama disebut atribut. Frasa petani muda pada contoh di atas tergolong ke dalam
konstruksi endosentrik-atributif. Unsur pusatnya ialah petani dan atributnya ialah muda.
Satu frasa termasuk ke dalam golongan konstruksi endosentrik-koordinatif apabila frasa itu mempunyai fungsi yang sama dengan semua unsur langsungnya. Frasa sawah dan ladang pada contoh di atas tergolong ke dalam konstruksi endosentrik-koordinatif. Tidak terdapat unsur eksklusif frasa yang menjadi unsur pusat frasa.
Satu frasa termasuk ke dalam golongan konstruksi endosentrik-apositiff apabila frasa itu mempunyai fungsi yang sama dengan semua unsur langsungnya, tetapi sekaligus kata kedua memberi keterangan kepada kata pertama. Frasa di rumah pada contoh di atas tergolong ke dalam konstruksi endosentrik-apositif.
Unsur eksklusif rumah memiliki fungsi yang setara dengan unsur eksklusif di, tetapi sekaligus memberi keterangan kepada unsur eksklusif di. Konstruksi frasa eksosentrik sanggup dikelompokkan ke dalam dua golongan yang lebih kecil, masing-masing (1) konstruksi eksosentrik-objektif dan (2) konstruksi eksosentrik-direktif. Satu frasa termasuk ke dalam golongan konstruksi eksosentrik-objektif apabila frasa itu terdiri atas kata kerja yang diikuti oleh kata lain sebagai objeknya. Contoh-contoh berikut ini, berdasarkan tata bahasa struktural, tergolong frasa yang mempunyai konstruksi eksosentrik-objektif.
(7) mengecap kehidupan kota
(8) memenuhi jiwa
(9) memiliki cita-cita.
Kata-kata pertama pada setiap frasa di atas merupakan kelas kata kerja, dan katakata berikutnya merupakan objek dari kata kerja tersebut. Satu frasa termasuk ke dalam golongan konstruksi eksosentrik-direkktif apabila frasa itu terdiri atas direktor atau penanda diikuti kata atau frasa lain sebagai aksisnya. Contoh-contoh berikut ini, berdasarkan tata bahasa struktural, tergolong frasa yang mempunyai konstruksi eksosentrik-direktif.
(10) di sawah
(11) di atas pematang
(12) lantaran keterbelakangan mental.
Semua unsur eksklusif awal pada frasa-frasa di atas merupakan direktor atau penanda.
1.2.2.2 Kalimat
Sebagaimana telah dikemukakan, aspek kedua dari pembahasan sisntaksis ialah kalimat. Kalimat, sebagaimana luas disepakati di kalangan penganut tata bahasa struktural, ialah sebuah bentuk ketatabahasaan yang maksimal yang tidak merupakan penggalan dari sebuah konstruksi ketatabahasaan yang lebih besar dan lebih luas (Pateda, 1988: 87).
Untuk pemahaman lebih luas mengenai dimensi-dimensi kalimat, oke menyimak gambaran berikut. Bila dua orang atau lebih sedang terlibat dalam satu percakapan, maka akan terlihat bahwa setiap kalimat yang mereka ucapkan merupakan rangsangan bagi pihak lain untuk memperlihatkan jawaban. Jawaban dimaksud mungkin hadir dalam bentuk yang beragam, menyerupai lisan, tindakan, atau cara-cara lain yang memperlihatkan adanya perhatian.
Jika A, misalnya, mengucapkan “Mau ke mana, Anda?”, maka si B akan memperlihatkan balasan ekspresi “Ke sekolah”. Jika A mengucapkan “Jangan pergi!” sebagai rangsangan, maka B mungkin tidak akan memperlihatkan balasan lisan,melainkan melaksanakan tindakan tidak pergi sebagai jawaban. Jika A mengucapkan “Ayahku pergi kemarin”, maka B tidak harus memperlihatkan balasan berupa ekspresi maupun tindakan. Cukuplah bagi B berdiam diri atau sekedar menganggukan kepala yang mengambarkan dirinya mempunyai perhatian atas pernyataan A.
Berdasarkan iliustrasi mengenai rangsangan dan balasan (stimulus dan respons) dalam percakapan antara A dan B di atas, penganut tata bahasa structural membagi kalimat atas tiga golongan, yakni (1) kalimat yang memerlukan balasan lisan, (2) kalimat yang memerlukan balasan tindakan, dan (3) kalimat yang memerlukan balasan berupa perhatian. Yang termasuk golongan (1) ialah kalimat-kalimat tanya dan kalimat-kalimat menyerupai “Selamat pagi”, “Selamat siang”, dan sebagainya. Yang termasuk golongan (2) ialah kalimat-kalimat perintah, permintaan, dan ajakan. Yang termasuk golongan (3) ialah kalimat berita.
Selain berdasarkan rangsangan dan jawaban, kalimat sanggup pula dibedakan berdasarkan banyaknya klausa yang menjadi unsurnya sehingga didapatkanlah kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal ialah kalimat yang terdiri atas satu klausa atau konstruksi yang hanya terdiri atas subjek (S) dan predikat (P) saja, seperti:
(1) Ia cekatan sekali.
(2) Mobil itu mahal harganya.
Kalimat (1) hanya berisi satu klausa, yang dibangun oleh kata ia sebagai S dan cekatan sekali sebagai P. Begitu juga halnya dengan kalimat (2), hanya terdiri atas S (mobil itu) dan P (mahal harganya).
Kalimat beragam ialah kalimat yang sekurang-kurangnya terdiri atas dua klausa atau kalimat yang terdiri atas sekurang-kurangnya dua konstruksi subjek
(S) dan predikat (P), seperti:
(3) Waktu beliau tiba ke mari, saya sedang berlibur di Bali.
(4) Anton dan Mirna tidak kuliah hari ini.
Kalimat (3) berisi dua klausa, masing-masing:
(a) dia tiba ke mari
(b) saya sedang berlibur di Bali.
Klausa (a) dibangun oleh S (dia) dan P (datang), sedangkan klausa (b) dibangun
oleh S (saya) dan P (sedang berlibur).
Begitu juga halnya dengan kalimat (4), terdiri atas dua klausa, masing-masing:
(c) Anton tidak kuliah
(d) Mirna tidak kuliah.
Klausa (c) dibangun oleh S (Anton) dan P (tidak kuliah), sedangkan klausa (d)
dibangun oleh S (Mirna) dan P (tidak kuliah).
1.3 Penggolongan Kata
Persoalan penggolongan atau pengkelasan kata perlu dibicarakan di dalam tata bahasa struktural lantaran hal ini berafiliasi dengan struktur frasa dan kalimat sebagaimana telah dibicarakan pada penggalan terdahulu. Golongan atau kelas kata dalam tata bahasa struktural tidsk ditentukan berdasarkan makna, melainkan ditentukan secara gramatis, berdasarkan sifat atau sikap kata di  dalam frasa atau kalimat. Jadi, kata yang mempunyai sifat atau sikap yang sama membentuk satu golongan atau kelas kata. Berdasarkan pemikiran ini, kata bahasa Indonesia sanggup digolongkan atau dikelaskan menjadi (1) kata nomina, (2) ajektiva, dan (3) partikel (Ramlan, dalam Rusyana dan Samsuri (ed), 1983: 33).
Kata nomina (N) ialah semua kata yang sanggup menduduki daerah objek, dan apabila kata itu dinegatifkan, maka dinegatifkan dengan kata bukan. Jenis kata ini sanggup dibedakan atas tiga golongan atau kelas, masing-masing kata benda (Bd), kata ganti (Gt), dan kata bilangan (Bil). Termasuk golongan kata benda, di antaranya, ialah petani, guru, harimau, meja, dan rumah. Termasuk kata ganti ialah saya, kita, Putri, Medan, itu, ini, dan sebagainya. Contoh kata bilangan, di antaranya, ialah satu, lima belas, dan kesatu.
Kata ajektiva (A) ialah semua kata yang tidak sanggup menduduki daerah objek, dan bila dinegatifkan harus memakai kata tidak. Kelas kata ini sanggup juga dinegatifkan dengan kata bukan apabila dipertentangkan dengan keadaan lain, misalnya: Ia bukan menulis, melainkan menggambar.
Jenis kata ini sanggup dibedakan atas dua golongan atau kelas, masing-masing kata sifat (Sf) dan kata kerja (Kj). Kata sifat ialah kata ajektiva yang sanggup didahului oleh kata agak, sangat, dan lebih, seperti sakit, tinggi, dan rajin. Kata kerja ialah kata ajektiva yang sanggup didahului oleh kata boleh, seperti bekerja, lari, dan tidur.
Kata partikel (P) ialah semua kata yang tidak termasuk golongan nomina dan ajektiva. Kata ini dibedakan menjadi kata penjelas (Ps), kata keterangan (Kt), kata penanda (Pn), kata perangkai (Pr), kata Tanya (Ta), dan kata seru (Sr). Kata penjelas (Ps) ialah kata yang di dalam frasa selalu berfungsi sebagai atribut dalam konstruksi endosentrik yang atributif, menyerupai suatu, semua, paling, lebih, boleh, harus, sedang, dan sebagainya. Kata keterangan (Kt) ialah kata yang selalu
berfungsi sebagai keterangan bagi klausa, menyerupai kemarin, tadi, dahulu, dan sebagainya. Kata penanda (Pn) ialah kata yang menjadi direktor dalam konstruksi eksosentrik yang direktif, menyerupai di, dari, ke, karena, bahwa, dan sebagainya. Kata perangkai (Pr) ialah kata yang berfungsi sebagai koordinator dalam konstruksi endosentrik yang koordinatif, menyerupai dan, atau, tetapi. Kata tanya (Tn) ialah kata yang berfungsi membentuk kalimat tanya, menyerupai mengapa, bagaimana, berapa. Kata seru (Sr) ialah kata yang tidak mempunyai sifat sebagai partikel yang lain, menyerupai heh, nih.
Golongan atau kelas kata di atas masih sanggup dirinci menjadi golongan atau kelas kata yang lebih kecil lagi. Kata benda (Bd), misalnya, berdasarkan kata petunjuk satuan yang dipakai, sanggup digolongkan menjadi (1) kata benda manusiawi, yakni kata benda yang memakai kata orang sebagai penunjuk satuan, menyerupai petani, guru, mahasiswa, (2) kata benda wewani, yakni kata benda yang memakai kata ekor sebagai penunjuk satuan, menyerupai merpati, harimau,
(3) kata benda lainnya, yakni kata benda yang tidak memakai kata orang dan ekor sebagai penunjuk satuan, menyerupai rumah, meja, bunga.
Kata kerja, berdasarkan kemungkin mempunyai objek dan kemungkinan dipasifkan, sanggup digolongkan menjadi (1) kata kerja yang tidak sanggup diikuti objek, menyerupai menggeliat, berangkat, pergi, (2) kata kerja yang diikuti objek dan sanggup dipasifkan, menyerupai membangunkan, menjemput, (3) kata kerja yang sanggup diikuti dua objek, menyerupai memberikan, membelikan, (4) kata kerja yang sanggup diikuti onjek, tetapi tidak sanggup dipasifkan, menyerupai berdagang, berjudi.
Di samping penggolongan kata, dijumpai pula penggolongan frasa yang sejalan dengan penggolongan kata, menyerupai frasa benda, frasa bilangan, frasa sifat, frasa kerja, frasa keterangan, dan frasa penanda. Frasa benda ialah frasa yang pusatnya berupa kata benda atau kata ganti, menyerupai rumah itu, mereka itu, rumah bagus. Frasa bilangan ialah frasa yang pusatnya berupa kata bilangan, menyerupai dua buah, lima ekor. Frasa sifat ialah frasa yang pusatnya berupa kata sifat, menyerupai sangat lelah, kaya sekali, tidak sakit. Frasa kerja ialah frasa yang pusatnya berupa kata kerja, menyerupai akan lari, tidak pergi. Frasa keterangan ialah frasa yang pusatnya berupa kata keterangan, menyerupai tadi malam, kemarin siang.
Frasa penanda ialah frasa yang pusatnya berupa kata penanda, seperti:
- di pada di rumah,
- lantaran
pada karena harta,
- kalau
pada kalau tidak hujan.
1.4 Keunggulan Aliran Struktural
Aliran struktural mempunyai beberapa keunggulan sebagai berikut:
a. Aliran ini sukses membedakan konsep grafem dan fonem.
b. Metode drill and practice membentuk keterampilan berbahasa berdasarkan kebiasaan.
c. Kriteria kegramatikalan berdasarkan keumuman sehingga gampang diterima masyrakat awam.
d. Level kegramatikalan sistematis: mulai dari morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat.
e. Berpijak pada fakta, tidak mereka-reka data.
1.5 Kelemahan Aliran Struktural
Aliran struktural mempunyai beberapa kelemahan berikut:
a. Bidang morfologi dan sintaksis dipisahkan secara tegas.
b. Metode drill and practice sangat memerlukan ketekunan, kesabaran, dan sangat menjemukan.
c. Proses berbahasa merupakan proses rangsang-tanggap yang berlangsung secara fisis dan mekanis. Padahal, insan bukan mesin.
d. Kegramatikalan berdasarkan kriteria keumumam sehingga kaidah yang salah pun bisa benar jikalau dianggap umum.
e. Faktor historis sama sekali tidak diperhitungkan dalam analisis bahasa.
f. Objek kajian terbatas hingga level kalimat, tidak menyentuh aspek komunikatif.
g. Terlalu mendalkan struktu permukaan bahasa, mengabaikan struktur dalam.
2. Aliran Linguistik Deskriptif
2.1 Konsep Linguistik Deskriptif
Tidak sanggup disangkal bahwa bahasa sebagai sarana komunikasi insan bersifat dinamis, selaras dengan dinamika yang dialami oleh penuturnya. Dapatlah dipastikan bahwa bahasa yang hidup dalam satu kurun waktu tertentu berkemungkinan mempunyai ciri-ciri struktural, bahkan kosa kata, yang tidak lagi persis sama dengan keadaan bahasa itu pada kurun waktu yang lain, meskipun perbedaan tersebut selalu tidak tajam. Bahasa-bahasa mengalami evolusi mengikuti perkembangan masyarakat pendukungnya.
Kemungkinan berevolusinya bahasa ini membawa dampak terhadap kajian atau studi linguistik. Sekurang-kurangnya, ada dua macam studi linguistik yang muncul untuk merespons keadaan ini. Pertama, studi linguistik yang hanya memusatkan perhatian kepada objek bahasa yang ril, yang hidup dan digunakan penuturnya pada kurun waktu tertentu. Kedua, studi linguistik yang memusatkan perhatian kepada objek fase evolusi bahasa. Studi linguistik yang pertama
mendorong munculnya aliran linguistik deskriptif dalam pengkajian bahasa, sedangkan studi linguistik yang kedua mendorong munculnya aliran linguistiK komparatif.
Linguistik deskriptif lahir pada pengujung kala XIX di Amerika dengan tokoh utamanya Franz Boas. Ide aliran linguistik ini muncul lantaran Boas dan rekanrekannya berhadapan dengan masalah-masalah mudah untuk menghasilkan bentuk atau struktur yang ada dalam banyak sekali bahasa yang diucapkan penuturnya.
Aliran linguistik deskriptif bertujuan merumuskan teori linguistik yang abnormal sebagai alat untuk menuntaskan deskripsi bahasa-bahasa tertentu dengan mudah dan sukses. Karena itulah, linguistik deskriptif berafiliasi dengan pemerian dan analisis ihwal cara-cara bahasa beroperasi dan digunakan oleh kelompok penutur tertentu pada waktu tertentu (Robins dalam Alwasilah, 1985: 110).
Studi deskriptif ini tidak memuat contoh banding kepada pemerian bahasa pada periode sebelumnya. Tidak pula memuat studi contoh kepada bahasa lain pada periode yang sama. Menurut Sudaryanto (1988: 62), istilah deskriptif menyarankan bahwa penelitian yang dilakukan semata-mata berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penuturpenuturnya sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang
biasa dikatakan. Bahwa perian yang deskriptif itu tidak mempertimbangkan benar salahnya penggunaan bahasa oleh penutur, hal itu memang merupakan cirinya yang pertama dan terutama. Berikut ialah ide-ide Boas ihwal ciri struktural suatu bahasa : (1) kategori gramatikal, setiap bahasa mempunyai system  gramatikal dan sistem fonetik masing-masing. Sistem fonetik digunakan sesuai dengan kebutuhan makna oleh lantaran itu, unit dasar bahasa ialah kalimat, (2)
pronomina kata ganti, tidak ada orang pertama jamak, lantaran kata ganti itu tidak tetap, dan (3) verba mempunyai sifat arbitrari dan berkembang tidak merata pada banyak sekali bahasa.
2.2 Keunggulan Aliran Linguistik Deskriptif
Aliran linguistik deskriptif mempunyai beberapa keunggulan berikut:
(a) memerikan bahasa Indian dengan cara yang gres secara sinkronis.
(b) menolak aliran linguistik mentalistik lantaran tidak sejalan dengan iklim filsafat yang berkembang pada masa itu, yaitu behaviorisme.
(c) sudah mengelompokkan kategori gramatikal, verbal, dan pronomina kata ganti.
(d) terjalinnya hubungan yang baik antar sesama linguis.
(e) mimiliki cara kerja yang sangat menekankan pada pentingnya data yang objektif untuk memerikan suatu bahasa.
2.3 Kelemahan Aliran Linguistik Deskriptif
Aliran deskriptif mempunyai kekurangan lantaran sama sekali tidak memperhatikan aspek makna atau semantik. Karena sangat dipengaruhi oleh psikologi behaviorisme, aliran ini lebih cenderung menganalisis fakta-fakta bahasa secara objektif dan nyata, terutama fonologi dan morfologi. Makna diabaikan lantaran dianggap sangat subjektif, tidak konkret.
3. Aliran Linguistik Fungsional
3.1 Konsep Aliran Linguistik Fungsional
Secara umum, aliran linguistik fungsional dipahami sebagai gerakan linguistic yang beranggapan bahwa struktur fonologis, gramatikal, dan semantik ditentukan oleh fungsi yang dijalankannya di dalam masyarakat (Kridalaksana, 2008: 68). Aliran yang dipelopori oleh Roman Jakobson dan Andre Martinet ini mempunyai peranan penting dalam sejarah perkembangan linguistik, terutama dalam upaya menjembatani kesenjangan yang terbentang antara linguistik struktural Amerika
dan linguistik struktural Eropa. Linguistik struktural Eropa banyak dipengaruhi oleh gagasan fungsi-fungsi linguistik yang menjadi ciri khas aliran Praha.
Jejak aliran fungsional bersama-sama sudah terlihat pada masa berkembangnya aliran Praha. Trubeckoj, seorang tokoh aliran Praha, telah berupaya mewujudkan gagasan fungsional ini. Melalui tulisannya, ia pernah menyampaikan “…the phonemes is first of all a functional concept, which must be defined according to its function” (… fonem-fonem merupakan hal utama dari seluruh konsep fungsional yang harus mengacu kepada fungsinya) (dalam Samsuri, 1988: 28). Trubeckoj sudah berupaya membatasi fonem berdasarkan fungsinya. Fungsi inilah yang mendasari gagasan fungsional Jakobson dan Martinet.
Gagasan fungsi bahasa menempati kedudukan penting karya-karya Jakobson. Jakobson tidak hanya memasukkan unsur-unsur yang istimewa, tetapi juga memasukkan fungsi acara bahasa – hal yang juga pernah dikemukakan oleh Karl Buhler dengan konsepsi yang berbeda. Menurut Jakobson, ada enam fungsi bahasa manusia, yakni fungsi-fungsi ekspresif, konatif, denotatif, fatik, metalinguistik, dan puitik. Keenam fungsi bahasa insan ia gambarkan sebagai berikut:
Enam Fungsi Bahasa
denotative (inferensial)
ekspresif

fatik

konatif
metalinguistik
puitik
Fungsi ekspresif berpusat pada pembicara yang ditunjukkan oleh penggunaan interjeksi-interjeksi. Fungsi konatif berpusat pada pendengar yang ditunjukkan oleh unsure-unsur vokatif dan imperative. Fungsi denotatif berpusat pada konteks, yang ditunjukkan oleh penggunaan pernyataan-pernyataan faktual dalam pelaku ketiga dan dalam suasana hati indikatif. Fungsi fatik berpusat pada kontak yang ditunjukkan oleh adanya jalur yang tidak terputus antara pembicara dan pendengar. Misalnya, dalam pembicaraan melalui telefon, kata-kata ‘hello,
ya..ya…, heeh’ digunakan untuk menciptakan terang bahwa seseorang masih mendengarkan dan menunjukan jalur percakapan tidak terputus. Fungsi metalinguistik berpusat pada arahan yang berupa bahasa pengantar ilmu pengetahuan, biasanya berisi rumus-rumus atau lambang tertentu. Fungsi puitik berpusat pada pesan. Enam fungsi bahasa ini dihubungkan atau disejajarkan Jakobson dengan enam faktor bahasa di sisi lainnya. Keenam faktor bahasa tersebut adalah:
Enam Faktor Bahasa
Konteks (context)
Pembicara

pesan (message)


pendengar
Hubungan (contact)
Kode (code)
3.2 Pentingnya Kajian Diakronik
Jakobson ialah orang pertama yang menyampaikan pentingnya studi fonologi diakronik. Ia mendeskripsikan evolusi fonologis bahasa Rusia. Uraiannya ini dikaitkan dengan masalah-masalah fonologi historis. Metode kerja Jakobson ini bertentangan dengan dikotomi sinkronik – diakronik yang dikemukakan Saussure. Menurut Saussure, kedua studi itu seharusnya dipisahkan. Tetapi Jakobson mendapat santunan dari hasil diskusi sejumlah jago di Hague yang menyatakan bahwa dikotomi Saussure itu harus dibatasi, dan sejarah bahasa jangan dikerdilkan
ke dalam kajian perubahan yang terisolasi, melainkan harus dikaji dalam system bahasa itu sendiri (Samsuri, 1988: 30).
Jakobson menyatakan dengan tegas bahwa tidak akan ada kajian sinkronik tanpa adanya kajian diakronik. Sekali lagi, pendapatnya berbeda atau bertentangan dengan rezim Saussure yang menyampaikan bahwa kajian diakronik mempraanggapkan kajian sinkronik. Menurut Jakobson, perubahan bahasa merupakan penggalan dari sistem bahasa, dalam bentuk kecenderungan stilistik (ciri khas orang muda dan bau tanah atau ciri khas kaum tradisional dan modern) dan kecenderungan modifikasi dari tuturan individu. Gagasan ini terus muncul dalam pikiran Jakobson, diperbaiki dan diubahsuaikan selaras dengan perkembangan teorinya. Sinkroni tidak harus dipahami secara statis, melainkan harus dipahami secara dinamis. Aspek sinkromik filem, misalnya, bukanlah ragangan atau seperangkat ragangan yang masing-masing dinilai secara terpisah, melainkan harus dinilai secara serentak. Sebaliknya, gambar yang mengiklankan filem, yang berupa sebuah poster, bersifat statis. Jika gambar tersebut dibiarkan berlama-lama di sebuah bioskop, dan tentu saja mengalami banyak perubahan (misalnya gambarnya menjadi buram, cahaya pudar, dan sebagainya), maka tidak ada yang sanggup mencegah siapa pun untuk mengkajinya sebagai sebuah karya diakronik yang statis.
Penafsiran perubahan, kata Jakobson, harus bersifat teleologis (segala sesuatu dirancang untuk memenuhi tujuan tertentu) dalam pengertian tujuan, bukan dalam pengertian sebab. Sebab-sebab final perubahan bahasa harus terusmenerus dicari. Sebuah simpulan sistematis dari teori ini ditemukan di dalam esai Jakobson yang berjudul “Prinzipien der Historichen Phonologie” yang terbit pada tahun 1931.
Selain hal di atas, Jakobson juga memberi sumbangan yang penting bagi penderita afasia (gejala kehilangan kemampuan memakai maupun memahami kata-kata lantaran suatu penyakit otak) dan bagi bahasa anak. Gangguan afasia dibagi Jakobson ke dalam dua kelompok, yakni:
(1) similarity disorders yang mempengaruhi seleksi dan subtitusi item dengan stabilitas kombinasi dan konstektur yang bersifat relatif dan (2) contiguity disorders yang seleksi dan subtitusinya secara relatif normal, sedangkan kombinasi rusak dan tidak gramatikal, urutan kata kacau, hilangnya infleksi dan preposisi, konjungsi, dan sebagainya.
Jakobson melihat semua ini sebagai sebuah dikotomi yang merupakan ciri khas proses simbolik apapun. Kesungguhan pada kajian dikotomi, untuk menafsirkan fakta bahasa dalam hubungan dwimatra (binary), sangat menonjol pada setiap aspek gagasan Jakobson. Siapa pun sanggup melihat ketidaksepakatannya dengan ciri linear significant Saussure. Menurut Jakobson, unsur bahasa itu sanggup birsifat simultan. Ciri pembeda, yang terjadi simultan dengan cirri yang lain, berkaitan dengan batasan Sauusure ihwal opositif dan diferensial. Yang merupakan ciri khas
Jakobson bukanlah analisis fonem ke dalam ciri distingtif, melainkan ciri dwimatra.
Fonem bagi Sauussure bukan unsur opositif. Fonem itu tidak dikaitkan dengan opositnya, tetapi dikaitkan dengan ciri distingtifnya. Fonem ditandai oleh ada atau tidaknya kualitas yang diberikan. Jakobson juga menekankan pentingnya korelasi-korelasi fonologis sebagai untaian perbedaan-perbedaan arti yang terpisah. Menurut buku Jakobson dan Halle Fundamentals of Language, 1956, fonologi mempunyai ciri-ciri expressive, configurative, dan distinctive. Eexpressive meletakkan tekanan pada penggalan ujaran yang berbeda atau pada ujaran yang berbeda; menyarankan sikap emosi pembicara . Configurative, menandai penggalan ujaran ke dalam satuan-satuan gramatikal dengan memisahkan ciri kulminatifnya satu persatu, atau dengan
memisahkan batasannya (ciri-ciri demarkatif). Distinctive bertindak untuk memperinci satuan-satuan linguistik, ciri-ciri itu terjadi secara serempak dalam untaian yang berujud fonem. Fonem-fonem dirangkaikan ke dalam urutan. Pola dasar urutan serupa itu berujud suku kata. Dalam setiap suku kata terdapat penggalan yang lebih nyaring yang berupa puncak. Puncak itu berisi dua fonem atau lebih, maka salah satu darinya ialah puncak fonem atau puncak suku kata. Andre
Maertinet, tokoh penting linguistic fungsional lainnya, menyebarkan teori-teori mengenai fonologi deskriptif, fonologi diakronis, dan sintaksis. Pandangan linguistik umumnya merupakan sumbangan pemikiran penting bagi linguistic modern. Fonologi sebagai fonetik fungsional harus berdasarkan fakta-fakta dasar atau mengetahui fungsi-fungsi perbedaan suara bahasa sebagaimana mestinya.
Martinet mencurahkan perhatian pada fonologi diakronis dengan mencoba menciptakan deskripsi murni. Fonologisasi dan defonologisasi direkam, disertai keterangan ihwal perubahan-perubahan berdasarkan prinsip-prinsip umum. Kriteria interpretasi dasar diberikan oleh dua unsur yang berlawanan: (1) efisiensi dalam komunikasi, dan (2) tendensi pada upaya yang minimum. Ia juga menyatakan, analisis fonem ke dalam ciri-ciri distingtif, yang mengungkapkan adanya korelasikorelasi sebuah fonem yang terintegrasi dalam untaian korelatif, akan menjadi stabil. Selain itu, dikembangkan pula artikulasi rangkap yang menarik dan menggarisbawahi pada fungsi sintaksis sebagai gagasan yang sentral.
Gagasannya ini berupa kelanjutan wawasan fungsional yang telah disarankan oleh Sekolah Praha. Fungsi-fungsi bahasa dan fungsi-fungsi unsur linguistik sebagai suatu sistem unsur-unsur atau struktur unsur-unsur dipelajari untuk menjelaskan perbedaan bahasa dengan sistem tanda buatan yang mungkin distrukturkan dalam suatu cara yang sama, tetapi tak sanggup mempunyai fungsi-fungsi yang sama menyerupai bahasa. Pandangan struktural itu sanggup dirujukkan kembali dengan pandangan fungsional, tetapi hal itu bagi Martinet ialah embel-embel logisnya. Pilihan nama fungsional sebagai pengganti struktural, memperlihatkan bahwa aspek fungsional paling membuka pikiran, dan hal itu tidak mesti dipelajari secara terpisah dari yang lain.
Kemunculan aliran fungsional dalam bidang linguistik merupakan bantuan dari banyak sekali bidang ilmu di antaranya ialah antropologi, sosiologi, dan psikologi yang menganut strukturalisme. Hal ini sanggup dilihat dari dampak besar Saussure hingga Chomsky. Fungsionalisme dalam kajian ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan Struktural Fungsional. Fungsionalisme ialah gerakan dalam linguistic yang berusaha menjelaskan fenomena bahasa dengan segala manifestasinya dan beranggapan bahwa prosedur bahasa dijelaskan dengan konseuensikonsekuensi yang muncul kemudian dari prosedur itu sendiri. Wujud bahasa
sebagai sistem komunikasi insan tidak sanggup dipisahkan dari tujuan berbahasa, sadar atau tidak sadar. Konsep utama dalam fungsionalisme ialah fungsi bahasa dan fungsi dalam bahasa. Sikap fungsionalistis terhadap fungsi bahasa sebagai berikut.
a. Analisis bahasa mulai dari fungsi ke bentuk.
b. Sudut pandang pembicara menjadi perspektif analisis.
c. Deskripsi yang sistematis dan menyeluruh ihwal hubungan antara fungsi dan
bentuk.
d. Pemahaman atas kemampuan komunikatif sebagai tujuan analisis bahasa.
e. Perhatian yang cukup pada bidang interdisipliner, contohnya sosiolinguistik dan
penerapan linguistik pada duduk masalah praktis, contohnya training bahasa.
3.3 Keunggulan Aliran Linguistik Fungsional
Aliran lingustik fungsional mempunyai keunggulan-keunggulan sebagai berikut.
a. Pada khasanah kebahasaan, linguistik Fungsional sangat mempengaruhi tata bahasa dalam perkembangan linguistik sebelumnya, sekaligus membuka cakrawala gres supaya aspek fungsional menjadi pertimbangan penelitian bahasa. Dengan menelurkan istilah fungsional, mudah landasan yang digunakan dalam melihat bahasa (tataran fonologi, morfem, dan sintaksis) ialah fungsi.
Keunggulan lain aliran ini adalah: kita sanggup mengetahui bahwa setiap fonem (bunyi) itu mempunyai fungsi, sehingga sanggup membedakan arti. Setiap monem (istilah Martinet) yang diartikulasikan mempunyai isi dan ekspresi. Dengan begitu sanggup dilihat fungsinya. Kemudian pada tataran yang lebih besar, yaitu sintaksis, aliran ini menekankan pada fungsi preposisi dan struktur kalimat. Maksudnya, unsur linguistik dalam sebuah kalimat sanggup dijelaskan dengan merujuk pada fungsi sehingga ditemukan pemahaman logis yang utuh. Jadi, aliran ini telah berhasil melihat setiap komponen bahasa berdasarkan fungsi dan menginspirasi gagasan adanya hubungan antara struktur dan fungsi bahasa.
b. Dalam dunia sastra, gagasan Jakobson ihwal enam fungsi bahasa menjadi pijakan dalam menelaah karya sastra. Idenya tersebut melahirkan istilah model komunikasi sastra, yang memusatkan pada pesan yang terkandung dalam karya sastra. Model ini banyak diadopsi untuk menggali fungsi bahasa dalam wacana baik wacana ilmiah maupun nonilmiah, sastra maupun nonsastra.
3.4 Kelemahan Aliran Linguistik Fungsional
Aliran lingustik fungsional mempunyai kelemahan-kelenahab sebagai berikut.
a. Gagasan fungsional tidak menyentuh secara mendalam komponen makna dalam pengkajian bahasa. Pada tataran sintaksis, hanya disebutkan adanya fungsi dalam setiap struktur bahasa, namun tidak menjelaskan terminologi apa saja yang tercakup di dalamnya. Selanjutnya, bagaimana menyusun kalimat yang benar berdasarkan fungsi pun tidak jelas. Demikian halnya pada tataran fonologi dan morfologi. Jadi, kelemahan aliran ini ialah tidak bisa menguraikan fungsi unsur linguistik lebih rinci, khsususnya .pada tataran sintaksis. Dalam
struktur kalimat, gagasan aliran ini tidak menjelaskan komponen apa saja yang tercakup dalam aspek fungsional. Sebagaimana kita ketahui, ada fungsi lain dalam kalimat yaitu fungsi semantis dan fungsi pragmatis.
b. Sementara dalam dunia sastra, fungsi bahasa yang dinyatakan oleh Jakobson,ketika diterapkan dalam menganalisis karya sastra mempunyai kekurangan. Model komunikasi sastra Jakobson tidak memperhatikan potensi kebahasaan yang lain menyerupai mengabaikan relevansi sosial budaya. Padahal, sosial budaya memainkan peranan penting dalam memahami makna bahasa, terlebih dalam karya sastra lantaran di dalamnya melibatkan aspek sosio cultural yang sangat kental.
Mengacu pada model komunikasi sastra, karya sastra hanya bertumpu pada pesan yang disampaikan, padahal pemahaman karya sastra sangat bergantung pada pemahaman pembaca. Adanya unsur keterkaitan intertektualitas dan intratekstualitas dalam memahami karya sastra perlu diperhatikan lantaran setiap karya sastra tidak ada yang berdiri sendiri.
POSTINGAN TERKAIT
TIPS SUKSES DI PRAKONDISI PLPG 2017 BACA DI SINI
MODUL PEDAGOGIK PERSIAPAN  PRAKONDISI PLPG 2017 UNDUH DI SINI
MODUL LENGKAP PERSIAPAN PRAKONDISI BAHASA INDONESIA UNDUH DI SINI
SOAL LENGKAP KOMPETENSI PROFESIONAL UNDUH DI SINI

0 Response to "Modul I Persiapan Prakondisi Di Plpg 2017 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel