Teacher's Diary : Sm-3T Versi Thailand
Gambar milik Ala Syuk |
Teacher's Diary terinspirasi oleh kisah kasatmata perihal bagaimana dua orang gila (Ann & Song) mengatasi peluang paling mungkin dari menjadi guru sekolah apung bagi belum dewasa nelayan dan menemukan cinta dalam halaman-halaman buku harian yang hilang. Ini drama romantis gres dari GTH (salah satu rumah produksi film Thailand) yang didasarkan pada bencana yang terungkap sesudah seorang guru lupa akan buku hariannya yang tertinggal di sekolah, yang kemudian secara kebetulan ditemukan seorang guru pria yang menggantikan dirinya ditahun fatwa berikutnya. Hingga balasannya goresan pena dalam kertas diari tersebut menjadi ikatan emosional yang begitu berpengaruh dan kasatmata sehingga dua orang bernasib sama dan belum pernah bertemu sebelumnya tersebut bisa jatuh cinta.
Kisah kasatmata ini terjadi di sekolah apung berjulukan "Bann Ko Jatson School (Floating Class Branch)" di Li District, Lamphun Province di Utara Thailand. Namun, film ini tidak syuting di lokasi yang sebenarnya, syuting adegan dilakukan sekolah apung di Kang Ka Jan Natural Park di Phetchaburi Province. menonton film ini mengingatkan kita dengan film Laskar Pelangi pembiasaan novel terlaris karangan Andrea Hirata, yang sama-sama mengambil latar belakang dongeng perihal guru inspiratif yang bekerja dengan hati ditengah semua keterbatasan sarana prasarana dan hambatan sosial masyarakat yang ada. Keadaan dengan tidak ada listrik, layanan telepon atau internet, salah satu guru ternyata menjaga buku harian bergambar, menuangkan pikiran dan rasa frustrasinya ke dalamnya. Tetapi hal yang menarik untuk dilihat dalam film ini yakni pentingnya "jiwa guru" dalam pendidikan, perihal kepedulian dan kasih sayang serta ketelatenan seorang guru untuk menciptakan siswanya berhasil.
Seperti dalam masyarakat Asia lainnya, guru Thailand yang disebut "Khru" (dari bahasa Sansekerta "guru") profesi yang kehormatannya bukan sebab kemampuan profesional, tapi sebab kepribadiannya ("Baramee", yang berarti karisma). Bahasa Thailand, memakai pasangan kata dimulai atau berakhir dengan istilah "hati", yang disebut "chai". Bandara kata-pasang hanya masuk nalar dalam komposisi tertentu. Mereka sangat sering diterapkan dalam situasi pengajaran dan pembelajaran dan mengkarakterisasi korelasi antara guru dan siswa sangat baik. Sebagai contoh, seorang guru harus mempunyai hati yang dingin (chai-yen) yang berarti ia dilarang gampang mengalah dan berhati sabar (chai-ron). Hubungan antara guru dan siswa sangat ditentukan oleh harapan-harapan ini. Guru diklaim berwawasan luas (chai-kwang, mempunyai hati yang terbuka) dan mempunyai sopan santun dalam berbudaya dan sikap sehari-hari (chai-soong, hati yang tinggi).
Melalui film ini kita melihat bagaimana dua guru melewati ketika krisis dan titik kejenuhan dari menjalankan profesi guru dengan belum dewasa yang cukup terbelakang. Ketika ada krisis, Khru Ann, ia melompat sempurna ke tengah danau, meskipun dia tidak bisa berenang. Melihat bahwa terkadang sosok guru tidak harus ideal, Khru Ann mewakili guru yang lebih baik - yang lebih cerdas dan lebih terampil. Sedangkan Khru Song harus bekerja keluar kasus aljabar secara langsung sebelum mempresentasikannya di hadapan anak-anak. Tapi pengabdian Khru Song menghangatkan hati. Dia menghadapi krisis sendiri, dan membangun kembali semuanya, bahkan buku harian itu sendiri. Dia melacak siswa yang dulu sempat keluar sekolah dan membujuk anak itu untuk kembali ke sekolah. Tanpa Song, sekolah kemungkinan tidak akan bertahan.
Guru tetap harus menguasai bahan yang diajarkannya tetapi yang lebih penting guru dilarang lupa bahwa dia mengajar insan muda. Membangun generasi masa depan yang suatu ketika akan mengambil kiprah dalam masyarakat.
Wai Khru : Cara Thailand Menghargai Guru
Di Thailand, dikenal sebuah budaya yang dinamakan dengan “Wai Khru” atau “Menghormati Guru”. “Wai” sendiri mempunyai makna “memberi salam” / menghormati lawan bicara mereka. Biasanya, mereka melakukannya dengan mengatupkan dua telapak tangan mereka untuk memberi hormat kepada lawan bicara mereka. Acara ini biasanya dilaksanakan di awal tahun akademik. Biasanya Wai Khru dilaksanakan pada hari Kamis di bulan Juni. Budaya ini terus dilaksanakan dan dimasukkan dalam kultur pendidikan dasar hingga dengan menengah atas. Selain sebab alasan religi, menghormati guru yakni hal yang lumrah dan sudah seharusnya sebab guru yakni salah satu unsur yang memberi warna dan arah dalam kehidupan masyarakat Thai. Demikian mereka memberi alasan, mengapa profesi guru sangat mereka hormati.
Dalam kehidupan sehari-hari pun, masyarakat umum sangat menghormati guru, bahkan ketika mereka berada di luar sekolah. Bahkan seorang teman, pernah disangka seorang “ajarn” / guru Thailand, gara-gara mengenakan kaus universitas ketika pulang ke Indonesia dengan Air Asia Thailand. Akibatnya sang pramugari terlihat agak hiperbola memperlihatkan salam / “wai”. Hanya gara-gara kaos saja.
Untuk diketahui bersama bahwa di Thailand tidak ada aktivitas sertifikasi guru sebagaimana di Indonesia, tidak ada spesialisasi guru SD, Sekolah Menengah Pertama dan atau SMA/SMK. Kalau memang diharapkan maka seorang dosen pun sanggup ditugaskan untuk menjadi guru taman kanak dan siapapun harus siap dengan hal tersebut. Meski dosen tersebut sudah berpendidikan S-3 dan meraih Ph.D diluar negeri, tetap saja diberlakukan hukum yang sama tanpa perkecualian. Hal ini menyerupai dialami salah seorang dosen kami, Dr. Wanachan Singhchawla yang harus mengajar taman kanak-kanak selain tetap mengajar kami mata kuliah Intermediate Microeconomics di Suandusit University, Thailand. Padahal latarbelakang pendidikan ia yakni Finance Curtin University of Technology,Australia MBA (Finance) University of Wisconsin at Whitewater, USA dan B.BA.(Finance)University of Wisconsin at Madison, USA. Hingga sanggup disimpulkan bahwa profesi guru di Thailand merupakan totalitas diri individu untuk mengabdi, mendidik dan membelajarkan siswa dengan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang baik, tidak peduli dijenjang mana ia mengajar.
Penghormatan ini bukan hanya omong kosong sebab dongeng berlanjut ke pandangan masyarakat Thai akan keluarga seorang guru (dalam bahasa Thai : khru atau ajarn). Menurut kultur masyarakat Thai, entah resmi atau tidak resmi, seorang pria yang berprofesi sebagai guru sudah semestinya mempunyai istri dengan profesi yang “sederajat” status sosialnya di masyarakat. Meski barangkali terlihat sangat naif, tapi di balik itu semua masyarakat Thailand sebetulnya ingin menyandangkan status “kepantasan” dan “penghormatan” kepada seorang guru. Bagaimana dengan kasus kesejahteraan duduk kasus yang sebetulnya sangat relatif dan subyektif. Dan sejauh gosip yang ada, belum pernah ada guru-guru di Thailand yang berbuat anarkis atau melaksanakan demonstrasi untuk menuntut kenaikan gaji. Profesi guru berdasarkan dosen kami, Mr. Hoon mempunyai banyak akomodasi dan keistimewaan di Thailand dibandingkan dengan profesi-profesi lain di negeri ini. Mulai dengan kemudahan memperoleh sejumlah kredit dari banyak sumber-sumber pendanaan, hingga sejumlah hal lain yang diperoleh seiring status sosial masyarakat sebagai guru.
Diakhir goresan pena ini marilah kita merenungkan apa yang pernah disampaikan Raja Thailand King Bhumibol dalam pesan bijaknya bahwa guru yakni pilar moralitas suatu bangsa. ...."Teachers do the right thing. They are diligent, persistent, hospitable, idealistic strong and patient. They are disciplined and avoid illicit activities like smoking and drinking. They are also honest, sincere and kind to others. They take the middle way. They are unbiased. They are wise, reasonable and knowledgeable". (His Majesty King Bhumibol Adulyadej of Thailand, 1980:23)
Bangsa yang besar yakni bangsa yang bisa membangun pendidikan terbaik bagi bangsanya bersama keteladan para pendidiknya. Seperti guru dan orang renta sebelum mereka, guru Thai dan guru-guru lain hari ini harus merawat belum dewasa secara moral dengan cara apa saja yang diharapkan dan : pelajaran, les dan kebutuhan dasar sehingga belum dewasa tumbuh menjadi orang yang baik. Guru ideal ini sebagai orangtua yang bertanggung jawab moral yakni merupakan pecahan integral dari warisan budaya bangsa (baca:Thailand).
Hubungan sosial yang positif, dan atribut langsung yang memungkinkan mereka, yang paling penting karakteristik guru Thai yang baik yakni bisa berlaku sebagai "orangtua moral". Semua pandangan ini menyebabkan para guru Thai yang baik menyatakan dirinya bahwa saya akan hadir di sekolah dalam sikap yang baik mencakup karakteristik menyerupai sopan dan rapi, tutur kata yang ramah, adil dan mendorong. Pesan Raja Bhumibol untuk para guru Thailand (dan para guru yang lain) yakni "...is that if one is emotionally attuned to students, and if one is a good person and role model, ones students will grow up to be good Thai people and citizens. This is what is most important". Ikatan emosional yang selaras kepada siswa, dan dengan langsung dan teladan guru yang baik, seorang siswa akan tumbuh menjadi rakyat (Thailand) dan warga negara yang baik pula. Dan ini yakni apa yang paling penting dari kesemuanya.
Nah, pada ketika si guru pertama telah pulang ke tempat asalnya, maka digantikan oleh guru baru. Ini sangat persis ketika guru-guru SM-3T di banyak sekali tempat di Indonesia digantikan oleh angkatan berikutnya di tempat yang sama juga.
0 Response to "Teacher's Diary : Sm-3T Versi Thailand"
Posting Komentar