-->

Iklan

Modul V Persiapan Prakondisi Di Plpg 2017 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia


Peserta PLPG 2017 akan melakukan model Prakondisi di PLPG 2017, Demikian informasi yang dikutip dari www.sertifikasiguru.id., Salah satu ketentuan pada Prakondisi di PLPG 2017 yakni Peserta PLPG 2017 wajib mempelajari Modul Pedagogik dan Modul Pendalaman Materi Bidang Studi secara sanggup berdiri diatas kaki sendiri dan sanggup diunduh melalui laman sertifikasiguru.id

(PETUNJUK PELAKSANAAN PRAKONDISI DI PLPG 2017 BISA DIUNDUH DI SINI)

Sebagai persiapan pendalaman modul Materi Bidang Studi Bahasa Indonesia di prakondisi PLPG 2017 kami sajikan Modul 5 Pendalaman Bidang Studi Bahasa Indonesia. Modul ini merupakan modul pada PLPG 2016. Pada modul 5 ini dibahas Teori dan Genre Sastra Indonesia.




TEORI DAN GENRE SASTRA INDONESIA
Drs. Azhar Umar, M.Pd






KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016















BAB V
TEORI DAN GENRE SASTRA INDONESIA




A. Tujuan
Setelah mempelajari sumber berguru ini, guru dibutuhkan sanggup memahami teori dan genre sastra Indonesia, baik dalam wujud puisi, prosa, maupun drama dengan baik.
B. Kompetensi dan Indikator Pencapaian Kompetensi

Kompetensi Guru Mata
Pelajaran
Indikator Pencapaian Kompetensi
1. Memahami teori dan
genre sastra Indonesia.
1. Mengidentifikasi teori struktural
berdasarkan cuplikan naskah cerpen
yang disajikan.
2. Mengidentifikasi pantun dengan tepat
berdasarkan ciri-cirinya
3. 3. Mengidentifikasi gurindam dengan
tepat berdasarkan ciri-cirinya
4. Mengidentifikasi syair dengan tepat
berdasarkan ciri-cirinya
5. Mengidentifikasi genre puisi dengan
tepat.
6. Mengidentifikasi genre (prosa) dengan
tepat.
7. Mengidentifikasi genre drama dengan
tepat.
2. Mengapresiasi karya sastra secara reseptif
dan produktif.
1. Mengapresiasi puisi Indonesia (puisi
lama: pantun)
2. Mengapresiasi puisi Indonesia (puisi
lama: gurindam)
3. Mengapresiasi puisi Indonesia (puisi
baru: soneta)
4. Mengapresiasi prosa Indonesia (Prosa
lirik: Kaba Minangkabau).
5. Mengapresiasi prosa Indonesia (prosa lama: hikayat)
6. Mengapresiasi prosa Indonesia
(prosa lama: dongeng)
7. Mengapresiasi prosa Indonesia (prosa
baru: novel)
8. Mengapresiasi prosa Indonesia (prosa
baru: cerpen)
9. Mengapresiasi teks drama Indonesia


C. Uraian Materi
1. Teori dan Genre Puisi Indonesia
.
Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani poeima yang berarti ‘membuat’ atau poeisis ‘pembuatan’, dan dalam bahasa Inggris disebut poem dan poetry. Puisi diartikan ‘membuat’ dan ‘pembuatan’ lantaran lewat puisi intinya seorang telah membuat suatu dunia tersendiri yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik
fisik maupun batiniah.
Dengan mengutip pendapat Mc. Caulay dan Hudson, Aminuddin (1987: 134) mengungkapkan bahwa puisi yakni salah satu produk sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan delusi dan imajinasi, ibarat halnya lukisan yang menggunakan
garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya. Rumusan pengertian puisi di atas, sementara ini, dapatlah diterima lantaran kita seringkali diajuk oleh suatu delusi wacana keindahan, terbawa dalam suatu angan-angan, sejalan dengan keindahan penataan unsur bunyi, penciptaan
gagasan, maupun suasana tertentu sewaktu membaca puisi.
Puisi yakni karya sastra yang imajinatif. Bahasa sastra bersifat konotatif lantaran banyak menggunakan makna kias dan makna lambang (majas). Dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi lebih bersifat konotatif. Bahasanya lebih mempunyai kemungkinan banyak makna. Hal ini disebabkan adanya pengkonsentrasian atau pemadatan segenap kekuatan
bahasa di dalam puisi. Struktur fisik dan struktur batin puisi juga padat. Keduanya bersenyawa secara padu.
Deskripsi di atas seluruhnya berkenaan dengan bentuk fisik dan bentuk batin puisi. Bentuk fisik puisi yakni bahasa atau struktur, sedangkan bentuk batin puisi yakni isi atau tema. Marjorie Boulton (1979: 17 dan 129) menyebut kedua unsur pembentuk puisi itu dengan bentuk fisik (physical form) dan bentuk mental (mental form).

Struktur puisi intinya mempunyai dua unsur yang sama dengan unsur puisi berdasarkan Marjorie di atas, yaitu unsur fisik dan unsur batin. Unsur fisik puisi berkaitan dengan bentuk, sedangkan unsur batinnya berkaitan dengan isi dan makna. Menurut Herman J. Waluyo (2008: 76), struktur fisik yang disebut juga dengan metode puisi terdiri dari (1) diksi, (2) pengimajian, (3) kata konkret, (4) bahasa figurasi atau majas, (5) versifikasi, dan (6) tata wajah atau tipografi. Struktur fisik atau metode puisi tersebut juga dipengaruhi oleh penyimpangan penggunaan bahasa atau sintaksis. Adapun struktur batin yakni struktur yang berafiliasi dengan tema,
perasaan, nada dan suasana, amanat atau pesan.
1.1 Ragam Puisi Berdasarkan Bentuk dan Isi
Ditinjau dari bentuk maupun isinya, puisi sanggup dikelompokkan ke dalam banyak sekali ragam berikut: (1) puisi naratif, (2) puisi lirik, (3) Puisi deskriptif, (4) puisi fisikal, (5) puisi platonic, (6) puisi metafisikal, (7) puisi subjektif, (8) puisi objektif, (9) puisi konkret, (10) puisi diafan, (11) puisi prismptis, (12) puisi parnasian, (13) puisi inspiratif, (14) puisi pamphlet, (15) puisi demonstrasi, dan (16) puisi alegori.
Puisi naratif yakni puisi yang di dalamnya terkandung suatu cerita, dengan pelaku, perwatakan, setting, maupun rangkaian kejadian tertentu yang menjalin dongeng tersebut. Termasuk ke dalam jenis puisi ini yakni apa yang biasa disebut dengan balada yang dibedakan antara folk ballad, dengan literary ballad. Balada merupakan ragam puisi yang berkisah wacana kehidupan insan dengan segala macam sifat pengasihnya, kecemburuan, kedengkian, ketakutan, kepedihan, dan keriangannya. Jenis puisi lain yang termasuk dalam puisi naratif adalah poetic tale sebagai puisi yang berisi dongeng-dongeng rakyat.
Puisi lirik adalah puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala macam endapan pengalaman, sikap, maupun suasana batin yang melingkupinya. Jenis puisi lirik umumnya paling banyak terdapat di dalam khazanah sastra moderen Indonesia, ibarat tampak dalam puisi-puisi Chairil Anwar, Sapardi Djokodamono, Goenawan Mohammad, dan lain-lainnya (Aminuddin, 1987: 135).
Puisi deskriptif adalah puisi yang mencoba memberi kesan terhadap keadaan/peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang menarik perhatian oleh penyair. Jenis puisi yang sanggup diklasifikasikan ke dalam puisi deskriptif, misalnya, puisi satire, kritik sosial, dan puisi-puisi impresionistik. Satire juga merupakan puisi yang mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau meyatakan keadaan sebaliknya.
Puisi fisikal bersifat realistis, artinya menggambarkan kenyataan apa adanya. Yang dilukiskan yakni kenyataan dan bukan gagasan. Hal-hal yang dilihat, didengar, atau dirasakan merupakan obyek ciptaannya. Puisi-puisi naratif, ballada, puisi yang bersifat impresionistis, dan juga puisi dramatis biasanya merupakan puisi fisikal.
Puisi platonik adalah puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal yang bersifat spiritual atau kejiwaan. Puisi-puisi ide atau impian sanggup dimasukkan ke dalam penjabaran puisi platonik. Puisi-puisi religius dan didaktik juga sanggup dikategorikan sebagai puisi platonik yang mengungkap nilai
spiritual dan pendidikan secara eksplisit.
Puisi metafisikal adalah puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca merenungkan kehidupan dan merenungkan Tuhan.
Puisi subyektif juga disebut puisi personal, yakni puisi yang mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri.
Puisi obyektif berarti puisi yang mengungkapkan hal-hal di luar diri penyair itu sendiri. Puisi obyektif disebut juga puisi impersonal. Puisi naratif dan deskriptif kebanyakan yakni puisi obyektif, meskipun juga ada beberapa yang subyektif.
Puisi konkret sangat terkenal dalam dunia perpuisian Indonesia semenjak tahun 1970. X.J. Kennedy dalam Herman J. Waluyo (2008:159) menyebut puisi jenis ini sebagai bersifat visual yang sanggup dihayati keindahan bentuknya dari sudut penglihatan (poems for the eye).
Puisi diafan, atau puisi polos, yakni puisi yang kurang sekali menggunakan pengimajian, kata konkret dan bahasa figuratif, sehingga  uisinya ibarat dengan bahasa sehari-hari. Puisi yang demikian akan sangat gampang dihayati maknanya.
Puisi prismptis adalah puisi yang berupaya menyelaraskan kemampuan membuat majas, versifikasi, diksi, dan pengimajian sedemikian rupa sehingga pembaca tidak terlalu gampang menafsirkan makna puisinya, namun tidak juga terlalu gelap.
Puisi parnasian adalah puisi dari sekelompok penyair Perancis pada pertengahan simpulan periode 19 yang memperlihatkan sifat atau nilai keilmuan. Puisi parnasian diciptakan dengan pertimbangan ilmu atau pengetahuan, bukan didasari oleh pandangan gres atau adanya mood dalam jiwa penyair.
Puisi inspiratif diciptakan berdasarkan mood atau passion. Penyair benar-benar masuk ke dalam suasana yang hendak dilukiskan. Suasana batin penyair benar-benar terlibat ke dalam puisi itu.
Puisi demonstrasi mengacu kepada puisi-puisi Taufiq Ismail dan
mereka yang oleh Jassin disebut Angkatan 66. Puisi ini merupakan hasil refleksi demonstrasi para mahasiswa dan pelajar – KAMI-KAPPI- sekitar tahun 1966. Menurut Subagio Sastrowardojo, puisi-puisi demonstrasi 1966 bersifat kekitaan, artinya melukiskan perasaan kelompok bukan perasaan individu.
Puisi pamfet juga berbasis protes sosial. Disebut puisi pamfet lantaran bahasanya yakni bahasa pamfet. Kata-katanya mengungkapkan rasa tidak puas kepada keadaan. Munculnya kata-kata yang berisi protes secara impulsif tanpa protes pemikiran atau perenungan yang mendalam.
Puisi alegori adalah puisi yang sering mengungkapkan dongeng yang isinya dimaksudkan untuk menawarkan pesan yang tersirat wacana budi pekerti dan agama. Jenis alegori yang terkenal ialah parable yang juga disebut dongeng perumpamaan. Di dalam kitab suci banyak dijumpai dongeng-dongeng perumpamaan yang maknanya sanggup dicari di balik kata-kata yang tersurat.
1.2 Jenis-jenis Puisi
1.2.1 Puisi Lama
Puisi usang yakni puisi yang terikat oleh aturan-aturan. Karena itu, puisi usang biasanya bersifat anonim (merupakan puisi rakyat yang tidak dikenal nama pengarangnya); disampaikan secara verbal dari individu ke individu lain; merupakan sastra lisan; terikat aturan jumlah baris tiap bait,
jumlah suku kata maupun rima. Termasuk ke dalam puisi usang yakni pantun, gurindam, dan syair.
1.2.1.1 Pantun
Pantun pada mulanya yakni senandung atau puisi rakyat yang dinyanyikan. Dalam kesusastraan, pantun pertama kali muncul dalam Sejarah Melayu dan hikayat-hikayat terkenal yang sezaman. Kata pantun sendiri mempunyai asal-usul yang cukup panjang dengan persamaan dari bahasa
Jawa yaitu kata parik yang berarti pari, artinya paribasa atau peribahasa dalam bahasa Melayu. Arti ini juga berdekatan dengan umpama dan seloka yang berasal dari India.
Menurut H. Overbeck, yang terpengaruh oleh pendapat Abdullah Munsyi, pasangan atau dua baris pertama pada pantun memang tidak mempunyai arti; tidak mempunyai kekerabatan pikiran sama sekali, atau hanya untuk menjadi penentu sanjak {rima} pada pasangan atau dua baris kedua
pantun. Pantun yakni puisi Melayu orisinil yang cukup mengakar dan membudaya dalam masyarakat.
Pantun mempunyai ciri-ciri bentuk sebagai berikut: (1) Setiap bait terdiri atas empat baris, (2) Baris pertama dan kedua berfungsi sebagai sampiran, (3) Baris ketiga dan keempat merupakan isi, (4) Bersajak a – b – a – b, (5) Setiap baris terdiri atas 8 – 12 suku kata, dan (5) Berasal dari kawasan atau masyarakat Melayu (Indonesia).
Contoh Pantun:
(1) Ada pepaya ada mentimun (a)
Ada mangga ada salak (b)
Daripada duduk melongo (a)
Mari kita membaca sajak (b)
1.2.1.2 Gurindam
Gurindam yakni puisi usang yang berasal dari Tamil (India) . Gurindam mempunyai cirri-ciri sebagai berikut: (1) Setiap bait terdiri dari dua baris, (2) Sajak simpulan berirama a – a, b – b, c – c, dan seterusnya; (3) Berasal dari Tamil (India); (4) Isinya merupakan nasihat, yakni menjelaskan atau menampilkan situasi alasannya akibat; dan (5) Bersifat mendidik.
Contoh Gurindam
Kurang pikir kurang siasat (a)
Tentu dirimu akan tersesat (a)
Barang siapa tinggalkan sembahyang (b)
Bagai rumah tiada bertiang ( b )
Jika suami tiada berhati lurus (c)
Istri pun kelak menjadi kurus ( c )
1.2.1.3 Syair
Syair yakni puisi usang yang berasal dari Arab. Ciri – ciri syair yakni sebagai berikut: (1) Setiap bait terdiri dari empat baris; (2) Setiap baris terdiri dari 8 – 12 suku kata; (3) Bersajak a – a – a – a; dan (4) Semua baris merupakan isi, tidak mempunyai sampiran.
Contoh Syair :
Pada zaman dahulu kala (a)
Tersebutlah sebuah dongeng (a)
Sebuah negeri yang kondusif sentosa (a)
Dipimpin sang raja nan bijaksana (a)
Negeri berjulukan Pasir Luhur (a)
Tanahnya luas lagi subur (a)
Rakyat teratur hidupnya makmur (a)
Rukun raharja tiada terukur (a)
Raja berjulukan Darmalaksana (a)
Tampan rupawan elok parasnya (a)
Adil dan jujur penuh wibawa (a)
Gagah perkasa tiada tandingnya (a)
1.2.2 Puisi Baru
Puisi gres yakni puisi yang lebih bebas daripada puisi lama, baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima. Di antara jenis puisi gres yakni soneta. Soneta yakni puisi yang terdiri atas: (1) empat belas baris; (2) empat bait yang dibangun oleh dua quatrain dan dua terzina; (3) dua
quatrain merupakan sampiran dan merupakan satu kesatuan yang disebut oktaf; (4) dua terzina merupakan isi dan merupakan satu kesatuan yang disebut sextet; (5) belahan sampiran biasanya berupa gambaran alam; (6) sextet yang berisi curahan atau jawaban atau simpulan dari apa yang
dilukiskan dalam octav; (7) voltayang merupakan peralihan dari octav ke sextet; (8) koda yang merupakan penambahan baris pada soneta; (9) sembilan hingga empat belas suku kata dalam tiap baris; dan (10) rima simpulan a-b-b-a, a-b-b-a, c-d-c, dan d-c-d.
Contoh soneta
Gembala
Perasaan siapa takkan nyala (a)
Melihat anak berelagu dendang(b)
Seorang saja ditengah padang(b)
Tiada berbaju buka kepala (a)
Beginilah nasib anak gembala (a)
Berteduh dibawah kayu nan rindang (b)
Semenjak pagi meninggalkan sangkar (b)
Pulang kerumah di senja kala (a)
Jauh sedikit sesayup hingga (a)

Terdengar olehku bunyi serunai (a)
Melagukan alam nan montok permai (a)
Wahai gembala di segara hijau (c)
Mendengarkan puputmu menurutkan kerbau (c)
Maulah saya menurutkan dikau (c)
1.2.3 Puisi Kontemporer
Kata kontemporer secara umum bermakna masa kini, sesuai dengan perkembangan zaman, atau selalu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Puisi kontemporer sanggup diartikan sebagai puisi yang lahir dalam kurun waktu terakhir. Puisi kontemporer berusaha lari dari ikatan
konvensional puisi pada umumnya. Puisi kontemporer seringkali menggunakan kata-kata yang kurang memerhatikan kesantunan bahasa; menggunakan kata-kata kasar, ejekan, dan lain-lain. Pemakaian kata-kata simbolik atau lambang intuisi, gaya bahasa, irama, dan sebagainya dianggap tidak begitu penting lagi.
Puisi kontemporer pernah sangat popular di Indonesia pada dasawarsa 1980-an. Penyair-penyair tanah air yang pernah malang melintang dan menjadi aktivis puisi kontemporer di Indonesia, di antaranya, yakni Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, dan Hamid Jabbar. Sutardji terkenal
dengan tiga kumpulan puisinya, yakni O, Amuk, dan O Amuk Kapak. Ibrahim Sattah popular dengan kumpulan puisinya Hai Ti. Sedangkan Hamid Jabbar masyhur dengan kumpulan puisinya Wajah Kita.
Puisi kontemporer tidak tampil dalam bentuk yang benar-benar seragam di antara para penyairnya. Ada beberapa bentuk puisi kontemporer. Yang paling menonjol di antaranya yakni puisi mantra. Puisi mantra yakni puisi yang mengambil sifat-sifat mantra. Sutardji Calzoum Bachri yakni orang yang pertama memperkenalkan puisi mantra dalam puisi kontemporer.
Puisi mantra mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) tidak dihadirkan untuk dipahami pembaca, melainkan disajikan untuk menimbulkan imbas atau tanggapan tertentu; (2) berfungsi sebagai penghubung insan dengan dunia misteri; (3) mengutamakan imbas atau tanggapan berupa kemanjuran dan kemanjuran itu terletak pada perintah. Contoh puisi (kontemporer) mantra
yakni sebagai berikut:
Shang Hai
ping di atas pong
pong di atas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
tak ya pong tak ya ping
ya tak ping ya tak pong
sembilu jarakMu menancap nyaring
(Sutardji Calzoum Bachri dalam O Amuk Kapak, 1981)
2. Teori dan Genre Prosa Indonesia
Slamet Mulyana mengemukakan, istilah prosa berasal dari bahasa latin oratio provorsa yang berarti ‘ucapan eksklusif bahasa percakapan’ sehingga prosa berarti bahasa bebas, bercerita, dan ucapan langsung. Kata prosa diambil dari bahasa Inggris, prose, yang berarti ‘bahasa tertulis atau
tulisan’. H.B. Jasin mengemukakan, prosa itu pengucapan dan pemikiran bahasa dalam karangan ilmu pengetahuan. Prosa ditulis berdasarkan pikiran dan menjauhi segala yang mungkin menggerakkan perasaan. Prosa semacam ini sering disebut sebagai prosa ilmiah. Namun
demikian, ada juga prosa yang bersifat sastra. Prosa jenis ini haruslah memenuhi syarat kesenyawaan yang serasi antara bentuk dan isi, kesatuan yang serasi antara pikiran dan perasaan.

Prosa sastra disebut juga dengan istilah prosa fiksi. Kata fiksi berasal dari fiction (bahasa Inggeris) yang berarti ‘rekaan’. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa prosa fiksi yakni dongeng rekaan dimana tokoh, kejadian dan latar di dalamnya bersifat imajiner.
Sudjiman, (1984:17) menyebut prosa fiksi ini dengan istilah ceritera rekaan, yaitu kisahan yang mempunyai tokoh, lakuan, dan alur yang dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi, dalam ragam prosa. Prosa, sebagai salah satu bentuk cipta sastra, mendukung fungsi sastra pada umumnya.
Fungsi prosa yakni untuk memperoleh keindahan, pengalaman, nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita, dan nilai-nilai budaya yang luhur. Selain itu, prosa sanggup pula membuatkan cipta, rasa, serta membantu pengebangan pembelajaran (secara tidak langsung).
Prosa sebagai salah satu bentuk karya sastra, sering menbimbulkan problem dalam mengajarkannya. Hal ini muncul lantaran dongeng yang ditulis dalam bentuk prosa pada umumnya panjang. Masalah ini tentu saja sanggup memengaruhi proses pembelajaran prosa lantaran bimbingan apresiasi yang menyangkut teks enggan diberikan. Seperti halnya puisi, prosa pun sebaiknya
dinikmati oleh siswa secara utuh semoga fungsi prosa benar-benar terwujud.
Secara umum, prosa dikelompokkan atas prosa usang dan prosa baru. Paparan mengenai kedua kelompok prosa tersebut sanggup dilihat pada belahan berikut.
2.1 Prosa Lama
Prosa usang yakni karya sastra yang berbentuk dongeng atau narasi; berbeda dengan pantun, gurindam, dan sebagainya. Disebut prosa usang lantaran produk sastra ini selalu bersifat anonim (tanpa nama penulis), sangat statis, dan selalu dianggap milik bersama. Karena dianggap milik bersama, hampir semua produk prosa usang disebut dongeng rakyat Cerita rakyat merupakan sastra verbal yang berkembang di masyarakat, terutama pada masa lalu. Cerita rakyat yakni dongeng yang intinya disampaikan oleh seseorang kepada orang lain melalui penuturan lisan, yakni
penciptaan, penyebaran, dan pewarisannya dilakukan secara verbal melalui tutur kata satu orang ke orang lainnya di kalangan masyarakat pendukungnya secara turun–temurun dari satu generasi ke generasi. Cerita rakyat terdiri dari banyak sekali versi, biasanya tidak diketahui pengarangnya
(anonim).
William R. Bascom dalam James Danandjaja (2007 : 50) membagi dongeng rakyat ke dalam tiga kelompok, yaitu mite, legenda, dan dongeng. Di sisi lain, ada juga jago sastra yang memasukkan hikayat ke dalam kelompok dongeng rakyat. Di dalam buku sumber berguru ini, hanya akan dibahas lebih lanjut mengenai dongeng dan hikayat.
2.1.1 Dongeng
Menurut Sudjiman (1986: 15), dongeng yakni dongeng wacana makhluk khayali. Makhluk khayali yang menjadi tokoh-tokoh dongeng semacam itu biasanya ditampilkan sebagai tokoh yang mempunyai kebijaksanaan untuk mengatur problem insan dengan segala macam cara. Bascom dalam James Danandjaja ( 2007: 50) menyatakan bahwa dongeng yakni dongeng prosa rakyat yang dianggap tidak benar-benar terjadi oleh yang mempunyai cerita, dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat. Dongeng merupakan dongeng yang tidak benar-benar terjadi terutama pada zaman dahulu.
Kebanyakan orang beranggapan bahwa dongeng yakni dongeng mengenai makhluk peri. Kenyataannya, banyak dongeng yang tidak menceritakan kehidupan para peri. Sejumlah dongeng bercerita wacana isi dan plot dongeng yang wajar.
Beberapa jago sastra usang membagi dongeng atas empat golongan besar, yakni: (1) dongeng binatang, (2) dongeng biasa, (3) lawakan dan anekdot, dan (4) dongeng berumus.
Dongeng binatang yakni dongeng yang ditokohi binatang. Binatang-binatang ini digambarkan sebagai sosok yang pandai berbicara dan berakal budi ibarat manusia. Jenis binatang yang selalu dilibatkan di dalam dongeng dongeng, antara lain, anjing, rubah, kelinci, buaya, harimau, gajah, dan kancil. Di Indonesia, dongeng dongeng yang melibatkan kancil sebagai tokoh dongeng sangat banyak jumlahnya. Di dalam cerita-cerita itu, kancil selalu digambarkan sebagai sosok binatang yang cerdas dan baik budi. Sementara itu, sebagai tokoh lawan dari binatang yang cerdas dan baik budi, dihadirkan sosok binatang yang pandir yang selalu menjadi bulan-bulanan binatang yang
cerdik dan cerdas tadi. Dalam banyak sekali dongeng dongeng, sosok binatang ibarat ini, misalnya, beruang, buaya, harimau, dan sebagainya.
Dongeng biasa yakni jenis dongeng yang ditokohi manusia, dan biasanya berupa kisah suka-duka seseorang. Di Indonesia, dongeng biasa yang sangat popular bertipe “Cinderella”. Dongeng bertipe ini relative banyak jumlahnya, ibarat “Bawang Putih dan Bawang Merah” (Jakarta), “Si Melati dan Kecubung” (Jawa Timur), dan sebagainya.
Lelucon dan anekdot merupakan dongeng-dongeng yang sanggup menggelikan hati sehingga menimbulkan tawa bagi yang mendengar maupun yang menceritakan. Anekdot menyangkut kisah fiktif lucu seorang atau beberapa orang tokoh yang benar-benar ada. Sedangkan lawakan menyangkut kisah fiktif lucu kolektif, ibarat suku bangsa dan ras. Misalnya kisah lucu
Albert Enstein di sebut anekdot, sedangkan kisah lucu orang Israel disebut lelucon.
Dongeng-dongeng berumus merupakan dongeng yang, oleh Antti Aarne dan Stith Thompson (dalam KSG Unimed, 2013: 316), disebut formula tales. Struktur dongeng ini terdiri atas pengulangan-pengulangan. Subbentuk dongeng berumus yakni dongeng yang bertimbun dongeng untuk mempermainkan orang, dan tidak mempunyai akhir. Dongeng, yang juga disebut dongeng berantai, ini yakni dongeng yang dibentukdengan menambah keterangan lebih rinci pada setiap pengulangan inti cerita. Simaklah dongeng berumus beikut ini:
Alkisah, di suatu lorong pada suatu hari, seorang nyonya lari terbirit-birit ketakutan lantaran diburu seekor tikus kecil. Tikus kecil lari terbirit-birit ketakutan lantaran diburu seekor kucing. Kucing lari terbirit-birit ketakutan lantaran diburu seekor anjing. Anjing lari terbirit-birit ketakutan lantaran diburu seorang pemabuk Israel. Pemabuk Israel lari terbirit-birit ketakutan lantaran diburu polisi. Polisi lari terbirit-birit ketakutan lantaran diburu MOZAD.
2.1.2 Hikayat
Hikayat yakni jenis prosa usang yang berkisah wacana riwayat hidup seorang tokoh. Riwayat hidup tokoh yang diceritakan adakalanya realistis, dengan sumber informasi dan data terpercaya. Tetapi, ada juga hikayat yang sumber penceritaannya bercampur baur antara fakta dan fiksi atau opini penulisnya.
Hikayat berisi dongeng kebaikan dan kemuliaan sang tokoh pada masa hidupnya. “Hikayat Nabi Idris”, misalnya, berisi dongeng mengenai kejujurannya, kesalehannya, kepatuhannya beribadah kepada Allah, menjauhi semua larangan Allah, dan sama sekali tidak mau merampas hak orang lain (lihat Djamaris dkk., 1985: 7). Karena berbicara mengenai kebaikan dan kemuliaan
seorang tokoh, maka hikayat ditulis untuk berfungsi sebagai pemberi wawasan, nasihat, pedoman hidup, dan pandangan gres kepada pembaca. Dengan membaca hikayat, seseorang dibutuhkan sanggup mengubah dan memperbaiki kualitas hidupnya pada masa depan.
2.2 Prosa Baru
Prosa gres yakni karya sastra yang berbentuk dongeng atau narasi juga, sama dengan prosa lama. Disebut prosa gres lantaran produk sastra ini tidak lagi bersifat anonim (tanpa nama penulis). Penulis prosa gres sudah sangat sadar akan hak-hak individualnya dan lantaran itu merasa mempunyai wewenang untuk mencantumkan namanya pada karya prosa yang mereka tulis. Dengan
demikian, karya-karya prosa yang mereka tulis tidak sanggup lagi dianggap sebagai milik bersama masyarakat, melainkan milik individu penulis.
Selain itu, prosa gres sudah memperlihatkan semangat yang dinamis, baik dalam hal isi atau tema maupun bentuknya. Para penulis prosa gres sudah mempunyai keberanian menuliskan sesuatu yang berbeda dan bahkan menentang hal-hal yang menjadi kebiasan umum. Isi atau tema prosa gres sudah bersifat masyarakat sentris. Semua perubahan ini dimungkinkan lantaran para penulis prosa gres mulai menerima efek yang kuat dari perkembangan sastra Barat. Kenyataan ini jauh berbeda dari karakteristik prosa usang yang isi atau temanya selalu disebut bersifat istana sentris, yakni berorientasi kepada kepentingan penguasa.
Sebagai karya sastra, prosa gres hadir dalam banyak sekali bentuk, ibarat cerpen, novel, dan drama. Paparan mengenai bentuk-bentuk prosa gres tersebut sanggup dilihat pada belahan berikut.
2.2.1 Cerita Pendek
Cerita pendek, atau sering disingkat dengan cerpen, yakni suatu bentuk prosa naratif fiktif. Berapa ukuran panjang atau pendek yang dimaksud memang tidak ada aturan baku yang dianut maupun janji di antara pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe, dalam Burhan
Nurgiantoro (1995: 11), menyatakan bahwa dongeng pendek yakni sebuah dongeng yang selesai dibaca sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah jam hingga dua jam.
Untuk menentukan panjang pendeknya cerpen, khususnya berkaitan dengan jumlah kata yang digunakan, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat. Menurut Staton cerpen biasanya menggunakan 15.000 kata atau setara dengan lebih kurang 50 halaman. Sedangkan Notosusanto menyatakan bahwa jumlah kata yang dipakai di dalam cerpen sekitar 5.000 kata atau
kira-kira 17 halaman kuarto dengan spasi rangkap (lihat KSG Unimed, 2013: 292).
Cerita pendek, selain kependekannya ditunjukkan oleh jumlah penggunaan kata yang relative terbatas, kejadian dan isi dongeng yang disajikan juga sangat pendek. Peristiwa yang disajikan memang singkat, tetapi mengandung kesan yang dalam. Isi dongeng memang pendek lantaran
mengutamakan kepadatan ide. Karena itu, kejadian dan isi dongeng dalam cerpen relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan roman atau novel.
Cerita pendek cenderung padat dan eksklusif pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, ibarat novel. Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra, ibarat tokoh, plot, tema, bahasa, dan insight, secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi lain yang lebih panjang. Disyaratkan oleh H.B. Jassin bahwa dongeng pendek haruslah mempunyai belahan perkenalan, pertikaian, dan penyelesaian (Korrie Layun Rampan, 1995: 10).
Ciri-ciri dongeng pendek, berdasarkan Stanton (2007: 76), adalah: (1) haruslah berbentuk padat, (2) realistik, (3) alur yang mengalir dalam dongeng bersifat fragmentaris dan cenderung inklusif. Sedangkan berdasarkan Guntur Tarigan, cirri-ciri cerpen adalah: (1) singkat, padu, dan intensif (brevity, unity, dan intensity), (2) mempunyai unsur utama berupa adegan, tokoh, dan gerak
(scene, character, dan action), (3) bahasanya tajam, sugestif, dan menarik perhatian (incisive, suggestive, dan alert), (4) mengandung impresi pengarang wacana konsepsi kehidupan, (5) menimbulkan imbas tunggal dalam pikiran pembaca, (6) mengandung detil dan kejadian yang benar-benar terpilih, (7) mempunyai pelaku utama yang menonjol dalam cerita, dan (8) menyajikan kebulatan imbas dan kesatuan emosi.
Berdasarkan banyak sekali batasan dan ciri dongeng pendek di atas, sanggup disimpulkan bahwa dongeng pendek yakni bentuk prosa fiktif naratif yang habis dibaca sekali duduk, serta mengandung konflik dramatik. Cerita pendek yakni dongeng fiksi bentuk prosa yang singkat yang unsur ceritanya berpusat pada satu kejadian pokok sehingga jumlah dan pengembangan pelaku
terbatas, dan keseluruhan dongeng memberi kesan tunggal.
2.2.1.1 Unsur Intrinsik Cerita Pendek
Unsur intrinsik yakni unsur-unsur yang membangun karya sastra. Unsur-unsur inilah yang menimbulkan karya sastra hadir sebagai karya sastra; unsur-unsur yang yang secara faktual akan dijumpai bila orang membaca karya sastra.
Unsur intrinsik cerpen sanggup dikelompokkan ke dalam enam bagian, masingmasing: (1) tema, (2) alur, (3) penokohan atau perwatakan, (4) latar, (5) sudut pandang atau point of view, dan (6) amanat. Pembahasan terhadap unsurunsur intrinsik  pembangun dongeng pendek yang telah disampaikan di atas diuraikan sebagai berikut.
Tema. Tema yakni makna yang dikandung oleh sebuah dongeng atau gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh dongeng sehingga bersifat menjiwai keseluruhan cerita. Tema suatu karya sastra letaknya tersembunyi dan harus dicari sendiri oleh pembaca. Pengarang karya sastra tidak akan secara gamblang mengatakan
apa yang menjadi inti permasalahan hasil karyanya, walaupun kadangkadang terdapat kata-kata atau kalimat kunci dalam salah satu belahan karya sastra. Melalui kalimat kunci itu pengarang seperti merumuskan apa yang bekerjsama menjadi pokok permasalahan.
Ada beberapa cara untuk menafsirkan tema berdasarkan Stanton (2007: 44), yakni: (1) harus memperhatikan detil yang menonjol dalam dongeng rekaan, (2) tidak terpengaruh oleh detil dongeng yang kontradiktif, (3) tidak sepenuhnya bergantung pada bukti-bukti implisit, kadang-kadang harus yang eksplisit juga, (4) tema itu dianjurkan secara terang oleh dongeng yang bersangkutan. Perlu ditambahkan di sini bahwa faktor pengarang dengan pandangan-pandangannya turut menentukan  tema karyanya. Penokohan. Penokohan merupakan salah satu unsur dalam dongeng yang menggambarkan keadaan lahir maupun batin seseorang atau pelaku. Setiap insan mempunyai abjad yang berbeda-beda. Karena cerpen intinya menceritakan
insan dalam berafiliasi dengan lingkungannya, maka setiap tokoh dalam dongeng akan mempunyai tabiat yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Melalui abjad tokoh cerita, pembaca mengikuti jalan dongeng sehingga maksud dongeng akan menjadi lebih jelas.
Istilah tokoh merujuk pada orang atau pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh. Penokohan dan karakterisasi sering disamakan artinya dengan abjad dan perwatakan. Penokohan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah dongeng (Nurgiantoro, 1995: 165).
Kaprikornus yang dimaksud dengan penokohan atau karakteristik yakni ciriciri jiwa seseorang tokoh dalam suatu cerita. Seluruh pengalaman yang dituturkan dalam dongeng kita ikuti berdasarkan tingkah laris dan pengalaman yang dipelajari melalui pelakunya. Melalui sikap ilmiah pembaca mengikuti jalannya seluruh dongeng dan berdasarkan karakter, situasi dongeng sanggup
dikembangkan.
Plot atau Alur. Plot atau alur yakni urutan kejadian yang merupakan dasar terciptanya sebuah cerita. Alur bisa tampak apabila pengarang bisa membangun saling hubung antara tema, pesan, dan amanat dalam cerita. Cerita bergerak dari satu kejadian ke kejadian yang lain. Masing-masing kejadian itu disusun secara runtut, utuh dan saling berafiliasi sehingga
membangun plot. Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan banyak orang menganggap sebagai unsur yang terpenting. Plot sanggup mempermudah pemahaman seseorang wacana suatu cerita. Tanpa plot, pembaca akan kesulitan memahami suatu cerita. Plot karya fiksi yang kompleks sulit dipahami kekerabatan kaosalitas antarperistiwanya. Akibatnya, dongeng sulit dipahami. Dalam suatu dongeng biasanya dituliskan banyak sekali kejadian dalam urutan tertentu. Peristiwa yang diurutkan itulah yang disebut alur atau plot. Plot biasanya dikelompokkan atas tiga tahap, yakni awal-tengah-akhir. Tahap awal sering disebut juga dengan tahap perkenalan. Tahap ini berisi informasi-informasi penting yang berafiliasi dengan banyak sekali hal yang
akan dikisahkan berikutnya. Tahap tengah, atau tahap pertikaian, menampilkan konflik atau kontradiksi yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya. Tahap akhir, atau tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu tanggapan klimaks. Pada belahan ini, dimunculkan simpulan dari cerita.
Latar (setting). Latar, atau biasa disebut dengan setting, merujuk kepada pengertian tempat¸ kekerabatan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya kejadian dalam cerita. Latar menawarkan kesan realistis kepada pembaca. Latar dibedakan dalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial. Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa, latar waktu
berafiliasi dengan problem kapan kejadian terjadi, dan latar social mengacu kepada hal-hal yang berafiliasi dengan sikap kehidupan social masyarakat dalam cerita.
Sudut Pandang (point of view). Sudut pandang, atau point of view, adalah cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan banyak sekali kejadian yang membentuk dongeng dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, dalam Burhan Nurgiantoro, 1995: 248). Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi, memang milik pengarang. Namun, semuanya itu, dalam karya fiksi, disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat beling mata tokoh dongeng (Burhan Nurgiantoro, 1995: 248). Sudut pandang atau point
of view
penceritaan sanggup dibedakan atas tiga macam, masing-masing: (1) sudut pandang orang pertama; pengarang sebagai saya (gaya akuan) Dalam hal ini, pengarang sanggup bertindak sebagai omnicient (serba tahu) dan sanggup juga sebagai limited (terbatas), (2) pengarang sebagai orang ketiga (gaya diaan). Dalam hal ini, pengarang sanggup bertindak sebagai omniscient (serba
tahu) dan sanggup juga bertindak limited (terbatas), (3) point of view gabungan, artinya pengarang menggunakan gabungan dari gaya bercerita pertama dan kedua.
Gaya. Gaya sanggup diartikan sebagai gaya pengarang dalam bercerita atau gaya bahasa yang dipakai pengarang dalam karyanya. Keduanya saling berhubungan, yaitu gaya seorang pengarang dalam bercerita akan terlihat juga dalam bahasa yang digunakannya.
Gaya bahasa yakni ekspresi personal, keseluruhan respons, pengarang terhadap persitiwa-peristiwa melalui media bahasa, seperti: jenis bahasa yang digunakan, kata-kata, sifat atau ciri khas imajinasi, struktur, dan irama kalimat-kalimatnya. Menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni (2008: 41), gaya pengarang satu dengan yang lainnya berbeda. Karena itu, bahasa
karya sastra bersifat ideocyncratic, artinya sangat individual. Perbedaan gaya itu disebabkan oleh perbedaan pemikiran dan kepribadian.
Amanat. Amanat yakni suatu pemikiran moral yang ingin disampaikan pengarang. Panuti Sujiman (1988: 51) menyatakan bahwa amanat yakni gagasan yang mendasari karya sastra, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Menurut Suharianto (1982: 71), amanat sanggup
disampaikan secara tersurat dan tersirat. Tersurat artinya pengarang memberikan eksklusif kepada pembaca melalui kalimat, baik berupa keterangan pengarang atau pun berbentuk obrolan pelaku. Seorang pengarang, dalam karyanya, tidak hanya sekedar ingin memgungkapkan
gagasannya, tetapi juga mempunyai maksud tertentu atau pesan tertentu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Pesan tertentu itulah yang disebut amanat.
Amanat dalam sebuah karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan wacana nilai-nilai kebenaran dan  berbagai hal yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Amanat dalam dongeng biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berafiliasi dengan hal tertentu yang bersifat praktis, yang sanggup diambil dan ditafsirkan lewat dongeng yang bersangkutan oleh pembaca.
2.2.2 Novel
Novel merupakan salah satu jenis fiksi. Novel dan dongeng pendek merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi juga berlaku untuk novel (Burhan Nurgiantoro, 1995: 9).
Herman J. Waluyo (2002: 37) mengemukakan bahwa novel mempunyai ciri: (1) ada perubahan nasib dari tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama tidak hingga meninggal. Di dalam novel tidak dituntut kesatuan gagasan, impresi,
emosi dan setting ibarat dalam dongeng pendek.
Secara etimilogis, kata novel berasal dari kata novellus yang berarti ‘baru’. Jadi, novel yakni bentuk karya sastra dongeng fiksi yang paling baru. Novel yakni satu genre sastra yang dibangun oleh unsur-unsur pembangun yang secara fungsional mempunyai keterjalinan. Untuk membangun totalitas makna dengan media bahasa sebagai penyampai gagasan pengarang wacana hidup dan seluk-beluk kehidupan manusia.
Telaah struktur novel dalam konteks ini akan dilakukan dengan pendekatan intertekstualitas. Dalam pendekatan intertekstualitas, penulis menekankan bahwa struktur novel terdiri dari unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik.
2.2.2.1 Unsur Intrinsik
Unsur-unsur instrinsik novel terdiri atasi (1) tema, (2) plot atau alur, (3) penokohan, (4) perwatakan atau karakterisasi, (5) setting atau latar, dan (6) sudut pandang atau point of view. Unsur-unsur ekstrinsik novel terdiri atas: (1) biografi pengarang, (2) karya-karya pengarang, (3) proses kreatif pengarang, dan (4) unsur sosial budaya.
Tema adalah gagasan dasar umum sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditemukan sebelumnya oleh pengarang dan dipergunakan untuk membuatkan cerita. Dengan kata lain, dongeng tentunya akan “setia” mengikuti gagasan dasar umum yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga banyak sekali kejadian konflik dan pemilihan banyak sekali
unsur instrinsik yang lain, ibarat penokohan, pelataran, dan penyudutpandangan diusahakan mencerminkan gagasan dasar umum tersebut.
Alur Cerita atau Plot, menurut Lukman Ali (1978: 120), yakni sambung sinambung kejadian berdasarkan aturan alasannya tanggapan yang tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting yakni mengapa hal itu terjadi. Alur dongeng terdiri dari tiga bagian, yaitu: (1) alur
awal, terdiri atas paparan (eksposisi), rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action); (2) alur tengah, terdiri atas pertikaiaan (conflict), perumitan (complication), dan titik puncak atau puncak penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri dari peleraian (falling action) dan penyelesaian (denouement). konflik dongeng yang berasal dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya. Falling action adalah peredaan konflik cerita. Konflik yang telah mencapai puncak, alhasil menurun lantaran sudah ada tandatanda adanya  penyelesaian pertikaian. Denouement adalah penyelesaian yang dipaparkan oleh pengarang dalam mengakhiri penyelesaian konflik yang terjadi.
Penokohan dan Perwatakan mempunyai kekerabatan yang sangat erat. Penokohan berafiliasi dengan cara pengarang menentukan dan menentukan tokohnya serta memberi nama tokoh dalam cerita. Perwatakan berafiliasi dengan karakteristik atau bagaimana tabiat tokoh-tokoh itu. Keduanya berkaitan dengan tokoh-tokoh dalam dongeng novel. Membicarakan perwatakan, Mochtar Lubis (1981: 18) memasukkannya dalam teknik dongeng dengan menyebut sebagai gambaran rupa atau pribadi atau tabiat pelakon (character delineation).
Setting atau Latar
berfungsi memperkuat pematutan dan factor penentu bagi kekuatan plot, begitu kata Marjeric Henshaw (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 198). Abrams membatasi setting sebagai tempat terjadinya kejadian dalam dongeng (1977: 157). Dalam setting, berdasarkan Harvy (1966: 304), faktor waktu lebih fungsional daripada faktor alam. Wellek menyampaikan
bahwa setting berfungsi untuk mengungkapkan perwatakan dan kemauan yang berafiliasi dengan alam dan insan (Wellek, 1962: 220). Herman J. Waluyo menyampaikan bahwa setting yakni tempat kejadian dongeng (2009: 34).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas sanggup dikatakan bahwa setting dongeng berkaitan dengan waktu dan tempat penceritaan. Waktu sanggup berarti siang dan malam, tanggal, bulan, dan tahun; sanggup pula berarti di dalam atau di luar rumah, di desa atau di kota, sanggup juga di kota mana, di
negeri mana dan sebagainya. Unsur setting lain yang tidak sanggup dipisahkan yakni hasil budaya masa lalu, alat transportasi, alat komunikasi, warna local dan daerah, dan lain-lain.
Setting berfungsi: (1) mempertegas tabiat pelaku; (2) menawarkan tekanan pada tema cerita; (3) memperjelas tema yang disampaikan; (4) metafora bagi situasi psikis pelaku; (5) sebagai atmosfir (kesan); (6) memperkuat posisi plot Point of View atau Sudut Pandang mengacu
kepara cara sebuah dongeng dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan banyak sekali kejadian yang membentuk dongeng dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Nurgiyantoro (2009: 256-266) menyebutkan, ada tiga jenis sudut pandang, yaitu: (1) sudut pandang persona ketiga: “dia” yang terdiri dari: (a) “dia” Mahatahu; (b) “dia” terbatas, “dia” sebagai pengamat; (2) sudut pandang persona pertama “aku” yang terdiri dari (a) “aku” tokoh utama, dan (b) “aku” tokoh tambahan; (3) sudut pandang campuran. Sudut pandang adonan ini sanggup terjadi antara sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia” mahatahu dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama, dan “aku” tambahan, bahkan sanggup berupa adonan antara persona pertama dan persona ketiga, antara “aku dan “dia” sekaligus.
2.2.2.2 Unsur Ekstrinsik Novel dan Cerpen
Unsur ekstrinsik yakni unsur yang berada di luar teks novel, tetapi memberi efek yang tidak kalah kuatnya terhadap isi novel dan cerpen daripada unsur intrinsik. Beberapa jago sastra menyampaikan bahwa unsur ekstrinsik bahkan lebih menentukan dimensi isi karya novel dan cerpen. Unsur ekstrinsik mencakup: (1) latar belakang masyarakat, (2) latar belakang seorang pengarang, dan (3) nilai-nilai yang terkandung di dalam novel. Latar belakang masyarakat sangat kuat pada penulisan novel dan cerpen. Latar belakang masyarakat tersebut bisa berupa, antara lain, kondisi politik, idiologi negara, kondisi sosial, dan juga kondisi perekonomian masyarakat.
Latar belakang seorang pengarang terdiri atas biografi pengarang, kondisi psikologis pengarang , aliran sastra yang dimiliki penulis, dan minatnya terhadap sesuatu sangatlah mempengaruhi terbentuknya sebuah cerpen atau novel. Riwayat hidup sang penulis mempengaruhi jalan pikir penulis atau sudut pandang mereka wacana suatu. Faktor riwayat hidup ini mempengaruhi gaya bahasa dan genre khusus seorang penulis novel/cerpen. Kondisi psikologis merupakan mood atau
motivasi seorang penulis saat menulis cerita. Mood atau psikologis seorang penulis ikut mempengaruhi apa yang ada di dalam dongeng mereka, contohnya bila mereka sedang sedih atau besar hati mereka akan membuat suatu dongeng sedih atau besar hati pula. Aliran sastra merupakan “agama” bagi seorang penulis dan setiap penulis mempunyai aliran sastra yng berbeda-beda. Hal ini sangat memengaruhi gaya penulisan dan genre dongeng yang biasa diusung oleh sang penulis di dalam karyakaryanya. Nilai- nilai yang terkandung di dalam cerpen/novel, ibarat nilai agama,
nilai social, nilai moral, dan nilai budaya, turut menentukan arah karya penulis.
2.2.3 Prosa Lirik
Prosa Lirik yakni salah satu bentuk karya sastra dalam ragam prosa yang ditulis dan diungkapkan dengan menggunakan unsur-unsur puisi. Meskipun bahasanya berirama, dan pencitraannya ibarat puisi, tetapi ikatan antarkata dalam sebuah kalimat, atau kekerabatan antarkalimat dalam sebuah paragraf (secara sintaksis) lebih mendekati bentuk prosa.
Suroso (dalam Mudini dkk, 2016;77) menuliskan bahwa prosa lirik yakni karangan berbentuk prosa yang berisi curahan perasaan ibarat puisi. Ciri-ciri prosa lirik: (1) Ikatan kalimatnya berbentuk prosa, (2) terdapat irama yang selaras dengan perasaan yang terkandung di dalamnya. (3) bersifat liris; curahan perasaan. (4) tidak terdapat sajak di dalamnya. Kalaupun ada sajak, hanya kebetulan saja, (5) tidak untuk membawakan berita, tetapi berisikan lukisan perasaan tertentu yang dikandung pengarang. (6) karangan disusun paragraf demi paragraf ibarat prosa
biasa, dan (7) prosa lirik terdapat dalam kesusastraan baru.
Contoh Prosa Lirik:
Berselisih
(Karya Amir Hamzah)
Berselisih kami, ia dua berjalan, saya ibarat selamanya
seorang diri. Adiknya yang dipimpinnya itu menoleh-noleh ke
belakang, matanya berkilat-kilat melihat segala berwarna warni,
putar-rimutar, kelap- kumilap di tepi jalan itu.
Ya, panjang-jinjing, lembut-lemah, kudungnya, tertudungsingkap, diusap- usap angin, ditolak-tolakkan anak rambutnya.
Berhenti ia, payung bertulis, dihujam agak tipis, dipanas agak kecil,
dilihat, dipulung- pulungnya, ditawarnya, kemahalan ...

Terhenti aku, kakiku enggan terus, di hadapanku berdiri
wanita tua, sanggulnya merangkum kuntum, layu belum,
kembang tak jadi. Bertanya beliau. Menoleh ia ke belakang, kulihat
matanya seketika, rasaku bercermin pada air yang jernih, dangkal
entahkan dalam, kelopak matanya yang segan terbuka, enggan
bertemu itu, melayap-hinggap semangatku serasa bermimpi,
mendaduhkan hatiku yang rusuh-resah ini...
Di manakah saya telah melihatnya? Kutandai muka dan rupa,
bangkit dan anggunnya, kukenal seluk-bentuk tubir bibirnya ...
Aduh hatiku, terasa ada, terkatakan tidak.
3 . Teori dan Genre Drama Indonesia
3.1 Pengertian Drama
Kata drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti ‘berbuat’, ‘berlaku’, atau ‘bertindak’. Jadi, secara literal, drama berarti ‘perbuatan’ atau ‘tindakan’. Namun demikian, sebagai istilah di dalam dunia sastra, drama pada awalnya diartikan sebagai kualitas komunikasi, situasi, action (segala yang terlihat di pentas) yang menimbulkan perhatian, kehebatan (acting), dan ketegangan pada para pendengar/penonton. Dalam perkembangan selanjutnya, kata drama mengacu kepada bentuk karya sastra yang berusaha mengungkapkan perihal kehidupan insan melalui gerak percakapan di atas panggung, atau suatu karangan yang disusun dalam bentuk percakapan dan yang sanggup dipentaskan. Oleh lantaran itu, dalam naskah drama selain percakapan pelaku, berisi pula petunjuk gerak atau klarifikasi mengenai gerak-gerik dan tindakan pelaku, peralatan yang dibutuhkan, penataan pentas atau panggung, musik pengiring, dan sebagainya.
Ciri khas drama yakni naskahnya berbentuk percakapan atau dialog. Dialog bahkan disebut-sebut sebagai hal yang paling membedakan drama dari karya fiksi lainnya, ibarat cerpen dan novel (KSG Unimed, 2013: 265). Dialog menjadi belahan awal yang eksklusif terlihat berbeda dari teks fiksi lainnya. Artinya, teks drama lebih lebih banyak didominasi belahan dialognya dibandingkan
dengan teks fiksi lainnya.
Dalam menyusun dialog, pengarang harus memperhatikan pembicaraan tokoh-tokoh dalam kehidupan sehari-hari dan pantas untuk diucapkan di atas panggung. Ragam bahasa dalam obrolan tokoh-tokoh drama yakni bahasa verbal yang komunikatif dan bukan ragam bahasa tulis. Pilihan
kata (diksi) pun dipilih sesuai dengan dramatic action dari plat out. Diksi berafiliasi dengan irama lakon, artinya panjang pendeknya kata-kata dalam obrolan kuat terhadap konflik yang dibawakan lakon.Dialog dalam sebuah drama pun harus estetis atau mempunyai keindahan bahasa. Namun, nilai estetis tersebut dihentikan mengganggu makna yang terkandung dalam naskah. Selain itu, obrolan harus hidup. Artinya, obrolan harus sanggup mewakili tokoh yang dibawakan. Untuk itu, observasi di lapangan perlu dilakukan oleh penulis untuk membantu menulis obrolan drama semoga realistis.
Pementasan drama haruslah mengandung unsur keindahan atau estetika. Kualitas kedua unsur drama di atas terutama bergantung pada: (1) naskah lakon; (2) bintang film dan aktris pendukungnya; (3) teladan pengagendaan atau mis en scene; (4) tata artistik; (5) tata rias ; (6) tata busana; (7) tata
cahaya; (8) tata suara; (9) tata musik; dan (10) tata gerak. Drama dibangun oleh unsur-unsur tema, plot, tokoh, karakter, latar, dan amanat serta unsur bahasa yang berbentuk dialog. Unsur-unsur ini akan dibahas lebih lanjut pada belahan berikut ini.
3.1.1 Tema
Tema merupakan dasar atau inti cerita. Suatu dongeng harus mempunyai tema atau dasar, dan dasar inilah yang paling penting dari seluruh cerita. Cerita yang tidak mempunyai dasar tidak ada artinya sama sekali atau tidak mempunyai kegunaan (Lubis, 1981: 15). Tema sebagai central idea and sentral purpose
merupakan ide dan tujuan sentral (Stanton, 1965: 16). Tema sanggup timbul dari keseluruhan cerita, sehingga pemahaman antara seorang penikmat dengan penikmat lain tidak sama (Jones, 12968: 31). Ada pula yang beropini bahwa tema merupakan arti dan tujuan dongeng (Kenny, 1966:
88).
Menurut Nurgiyantoro (1995: 70), tema sanggup dipandang sebagai gagasan dasar umum sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang dan dipergunakan untuk membuatkan cerita. Dengan kata lain dongeng harus mengikuti gagasan utama dari suatu karya sastra.
Pendapat di atas sanggup menggambarkan simpulan bahwa: (1) tema merupakan dasar suatu dongeng rekaan; (2) tema harus ada sebelum pengarang mulai dengan ceritanya; (3) tema dalam dongeng atau novel tidak ditampilkan secara eksplisit, tetapi tersirat di dalam seluruh cerita; dan (4) dalam satu dongeng atau novel terdapat tema lebih banyak didominasi atau tema sentral dan tema-tema kecil lainnya.

3.1.2 Plot atau Plot
Plot atau plot yakni rangkaian dongeng yang dibuat dalam tahapantahapan kejadian sehingga menjalin suatu dongeng yang utuh. Plot disusun tidak lepas dari tema. Jalan dongeng yang disusun atau dijalin dihentikan meloncat ke lain tema. Tiap-tiap kejadian akan berafiliasi sehingga
seluruh dongeng merupakan suatu kesatuan yang tidak sanggup dipisahkan. Lubis (1981: 18) memberikan cara memulai dan menyusun dongeng yang disampaikan oleh Tasrif yang dibagi menjadi lima tahapan, yakni penggambaran situasi awal (exposition), kejadian mulai bergerak menuju krisis diwarnai dengan konflik-konflik (complication), keadaan mulai memuncak (rising action), keadaan mencapai puncak penggawatan (klimaks), kemudian pengarang menawarkan pemecahan atau jalan keluar permasalahan sehingga dongeng berakhir (denouement). Cara memulai dan menyusun dongeng ibarat di atas dinamakan plot atau dramatic conflict.
3.1.2 Penokohan dan Perwatakan
Esten (dalam Kelan, 2005: 14) menyatakan bahwa penokohan yakni permasalahan bagaimana cara menampilkan tokoh: bagaimana membangun dan membuatkan tabiat tokoh-tokoh tersebut dalam sebuah karya fiksi? Kaprikornus antara pengertian tokoh dan penokohan mempunyai makna yang berbeda. Tokoh berbentuk suatu individu, sedangkan penokohan yakni proses
menampilkan individu tersebut dalam cerita.
Dalam proses penciptaan pemeranan, sang bintang film atau aktris harus memunyai daya cipta yang tinggi untuk mencoba semaksimal mungkin menjadi tokoh yang diperankan. Ia harus sanggup menjiwai tugas yang dipegangnya, sehingga ia (seperti) benar-benar merupakan sang tokoh
dengan apa adanya dalam pementasan lakon tersebut. Pada penampilan imajinasinya, tokoh juga dibantu oleh laku, pakaian yang dikenakan, dan rias. Semua unsur tidak bisa dipisah-pisahkan, bahkan harus saling mendukung, sehingga bisa mewujudkan abjad dari tokoh ibarat yang dikehendaki dalam lakon yang bersangkutan.
Untuk menggambarkan abjad seorang tokoh, pengarang sanggup menggunakan teknik sebagai berikut. (1) Teknik analitik: abjad tokoh diceritakan secara eksklusif oleh pengarang; (2) Teknik dramatik, yaitu teknik abjad tokoh dikemukakan melalui: (a) penggambaran fisik dan sikap tokoh; (b) penggambaran lingkungan kehidupan tokoh; (c) penggambatran ketatabahasaan tokoh; (d) pengungkapan jalan pikiran tokoh; dan (e) penggambaran oleh tokoh lain. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Waluyo (2009: 30) yang menuliskan bahwa penggambaran tabiat tokoh mempertimbangkan tiga dimensi watak, yaitu dimensi psikis (kejiwaan), dimensi fisik (jasmpniah), dimensi sosiologis (latar belakang kekayaan,
pangkat, dan jabatan)
Tokoh dan penokohan yakni unsur yang vital dan pembangun dari dalam yang tidak sanggup dikesampingkan kedudukannya. Nurgiyantoro (2000: 164) beropini bahwa pembicaraan mengenai tokoh dan perwatakannya dengan banyak sekali gambaran dalam jati dirinya. Dalam banyak sekali hal, penokohan bisa lebih menarik perhatian orang daripada berurusan dengan plot.
3.1.3 Amanat
Amanat merupakan unsur dongeng yang berafiliasi erat dengan tema. Amanat akan berarti apabila ada dalam tema, sedangkan tema akan tepat apabila di dalamnya ada amanat sebagai pemecah jalan keluar bagi tema tersebut. Sudjiman (dalam Alwi, 1998: 08) manyatakan bahwa
amanat yakni pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Amanat terdapat pada sebuah karya sastra secara implisit atau eksplisit. Amanat dinyatakan secara implisit bila jalan keluar atau pemikiran moral itu disiratkan dalam tingkah laris menjelang dongeng berakhir. Sementara itu, amanat dilukiskan secara eksplisit apabila pengarang pada tengah atau simpulan dongeng
memberikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan, dan sebagainya.
Pengertian amanat yang telah dikemukakan di atas sanggup disimpulkan bahwa amanat merupakan pesan yang disampaikan pengarang, baik secara implisit atau eksplisit kepada pembaca. Di dalam drama, ada amanat yang eksklusif tersurat, tetapi pada umumnya sengaja disembunyikan secara tersirat dalam naskah drama yang bersangkutan. Hanya penonton yang profesional yang bisa menemukan amanat implisit tersebut.
Cerita drama yang sudah dipanggungkan disebut dengan teater. Oleh lantaran itu, pembicaraan drama kerap dikaitkan dengan teater. Tak ayal, terkadang orang menyebut drama sebagai teater dan sebaliknya, teater dikatakan dengan drama. Kedua hal ini tetap berbeda. Perbedaan tersebut
sanggup dilihat dari tabel berikut.
3.2 Jenis Drama atau Teater
3.2.1 Tragedi
Boulton (1958:147) menjelaskan, drama peristiwa yakni sebuah permainan dengan simpulan yang menyedihkan, biasanya setidaknya terdapat satu kematian, tindakan dan pikiran dibuat secara serius dan dengan menghormati hak pribadi manusia. Sementara itu, Massofa (2009)
menuliskan bahwa drama peristiwa yakni perbuatan yang menampilkan sang tokoh dalam kesedihan, kemuraman, keputusasaan, kehancuran, dan kematian.
Senada dengan pendapat di atas, Wiyanto (2002:08) menjelaskan bahwa drama peristiwa yakni drama yang penuh kesedihan. Pelaku utama dari awal hingga simpulan pertunjukan selalu sia-sia (gagal) dalam memperjuangkan nasibnya yang jelek. Beberapa pendapat di atas sanggup
menjelaskan pengertian bahwa drama peristiwa yakni drama yang bersifat ringan yang menggambarkan kedukaan atau kesedihan yang dialami oleh tokoh.
3.2.2 Melodrama
Boulton (1958: 148) memaparkan bahwa melodrama yakni kekerabatan yang rendah dari sebuah tragedi. Ini mungkin wacana kesedihan atau simpulan yang menyenangkan, meskipun berakhir menyedihkan ibarat tumpukan jenazah atau teriakan orang gila akan menjadi pemanis sensasi
pertunjukan yang mungkin lebih mengharukan. Hal ini dikenal sebagai peristiwa yang bekerjsama dengan penggambaran abjad seseorang yang kasar dan mungkin baik atau jahat secara realistis.
Sementara itu, Massofa (2009) menjelaskan bahwa melodrama yakni perbuatan peristiwa yang berlebihan. Melodrama juga sanggup masuk ke dalam dongeng yang mengharukan saat ditampilkan untuk menggambarkan simpati. Ditambahkan oleh Wiyanto (2002:09) bahwa melodrama yakni
drama yang dialognya diucapkan dengan iringan melodi atau musik. Beberapa pendapat para jago di atas sanggup menyimpulkan bahwa melodrama yakni drama musikal yang sarat dengan kesedihan yang terkadang sangat berlebihan dan menguras tenggang rasa penonton.
3.2.3 The Heroic Play (Drama Heroik)
Boulton (1958: 148) menjabarkan bahwa drama heroik yakni jenis peristiwa berlebihan dalam model Inggris pada zaman Dryden. Drama ini berkaitan dengan tema cinta dan keberanian yang tinggi. Ada belahan adegan yang mengejutkan dari plot dongeng yang asing dan upaya itu dilakukan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih besar dari peristiwa tradisional. Keinginan untuk membuat sensasi yang kuat sehingga menjadi risiko dari sebuah reaksi penolakan, tetapi bentuk itu kini telah punah.
Farce menurut Massofa (2009) disebutkan sebagai istilah yakni komedi yang dilebih-lebihkan. Drama farce/heroik ini bisa dikatakan drama yang berlebihan dalam mengekspresikan sikap tokoh maupun keberanian mengeksplor tema, sehingga menimbulkan dampak yang terkadang di luar dugaan penonton, lantaran dikemas secara unik dan luar biasa.
3.2.4 Drama Masalah/Problem Play
Boulton (1958: 149) menjelaskan bahwa kegunaan istilah ini untuk diterapkan pada jenis permainan yang menyenangkan dari problem sosial atau moral tertentu sehingga membuat orang berpikir cerdas. Secara alami hal ini biasanya berkaitan dengan dilema hidup insan yang menyakitkan. Jenis permainan ini bermaksud mengajukan pertanyaan yang baik dan menyediakan jawaban atau meninggalkan peradaban untuk menemukan sesuatu.
3.2.5 Komedi (Comedy)
Boulton (1958: 150) menyatakan bahwa fungsi penting dari komedi yakni untuk menghibur. Hiburan sanggup dimulai dari senyum hening kemudian kemudian tertawa terbahak-bahak. Komedi sanggup menjadi sangat hebat atau sangat sederhana, tetapi juga sanggup menenangkan hati manusia, ibarat Yellow Sands and The Farmer’s Wife karya Eden Philpott; atau kecerdasan yang bijaksana ibarat The Provok’d Wife atau The Way of The World. Penggunaan komedi sanggup diubahsuaikan dengan jenis-jenis drama yang mengikutinya. Sementara itu, Massofa (2009), mendeskripsikan drama komedi yakni lakon ringan yang menghibur, menyindir, penuh seloroh, dan berakhir dengan kebahagiaan.
Koestler beropini bahwa humor yakni motivator agresif. Sebenarnya humor yakni bentuk kekhawatiran, pertahanan diri atau menyerang mendadak (tiba-tiba) dan tertawa lebar. Evolusi biologis manusia, katanya, telah jatuh di belakang mental yang berbahaya. Emosi agresif-defensif turun dari neurobiologis lapisan dalam dan mempunyai ketekunan yang lebih besar dan dari dalam diri disebut evolusioner kemudian berkembang penalaran yang lebih fleksibel. Oleh lantaran itu kejadian mental secara tiba-tiba dengan dua matriks biasa tidak kompatibel, akan
tetapi emosi bisa tidak mengikuti dengan cepat ibarat itu dan begitu ketegangan psikologis menemukan solusi dalam tawa, yaitu di sepanjang channel paling perlawanan.
POSTINGAN TERKAIT
TIPS SUKSES DI PRAKONDISI PLPG 2017 BACA DI SINI
MODUL PEDAGOGIK PERSIAPAN  PRAKONDISI PLPG 2017 UNDUH DI SINI
MODUL LENGKAP PERSIAPAN PRAKONDISI BAHASA INDONESIA UNDUH DI SINI

0 Response to "Modul V Persiapan Prakondisi Di Plpg 2017 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel