-->

Iklan

Teori Mencar Ilmu (2)


A.  Teori Belajar Behaviorisme

Teori mencar ilmu tingkah laris (behaviorisme) memandang mencar ilmu sebagai hasil dari pembentukan korelasi antara rangsangan dari luar (stimulus) ibarat ‘2 + 2’ dan jawaban dari siswa (response) ibarat ‘4’ yang sanggup diamati. Semakin sering korelasi (bond) antara rangsangan dan jawaban terjadi, maka akan semakin kuatlah korelasi keduanya (law of exercise). Para penganut teori mencar ilmu tingkah laris ini beropini bahwa kerikil saja akan berlubang jikalau ditetesi air terus menerus. Thorndike menyatakan berpengaruh tidaknya korelasi ditentukan oleh kepuasan maupun ketidakpuasan yang menyertainya (law of effect). Itulah sebabnya, dua kata kunci berdasarkan para penganutnya selama proses pembelajaran ialah ‘latihan’ dan ‘ganjaran/ penguatan’. Teori ini menitikberatkan pada perubahan tingkah laris sebagai hasil dari pengulangan. Ganjaran atau penguatan pada hewan ditunjukkan dengan santunan sesuatu jikalau ia sanggup menuntaskan tugasnya, sehingga hewan tersebut akan mengulangi kegiatannya. Para siswa akan sangat bahagia dan merasa dihargai jikalau mereka menerima hadiah ketika mereka sanggup melaksanakan kiprah dengan baik, sehingga mereka akan berusaha untuk melaksanakan hal yang sama. Namun jikalau mereka melaksanakan hal yang salah maka mereka harus menerima eksekusi biar ia tidak melaksanakan hal itu lagi. Teori mencar ilmu tingkah laris ini menekankan adanya ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement). Semakin banyak ganjaran yang diberikan maka respon yang diharapkan dari siswa akan lebih baik. Selain itu, jikalau respon siswa di luar yang diinginkan maka dibutuhkan adanya konsekuensi eksekusi (punishment) sebagai stimulus biar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada atau, dengan kata lain, biar sikap siswa sesuai yang diinginkan. Khusus untuk punishment ini, beberapa tokoh teori tingkah laku, contohnya Skinner, mempunyai perbedaan pendapat, khususnya lantaran dampak yang kurang baik. Skinner menawarkan alternatif yaitu digunakannya penguatan negatif (negative reinforcement). Pada masa kini, teori mencar ilmu yang dikemukakan penganut psikologi tingkah laris ini cocok dipakai untuk menyebarkan kemampuan siswa yang berafiliasi dengan pencapaian hasil mencar ilmu (pengetahuan) matematika ibarat fakta, konsep, prinsip, dan skill (keterampilan).

B. Teori Belajar Kognitif

1. Psikologi Perkembangan Kognitif Piaget

Menurut Piaget, struktur kognitif atau skemata (schema) ialah suatu organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada dikala orang itu berinterkasi dengan lingkungannya. Dua proses yang sangat penting ialah asimilasi dan akomodasi. Asimilasi ialah suatu proses di mana suatu isu atau pengalaman gres sanggup diubahsuaikan dengan kerangka kognitif yang sudah ada di benak siswa; sedangkan kemudahan ialah suatu proses perubahan atau pengembangan kerangka kognitif yang sudah ada di benak siswa biar sesuai dengan pengalaman yang gres dialami. Sejalan dengan itu, Ausubel menginginkan proses pembelajaran di kelas-kelas ialah suatu pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) yaitu suatu pembelajaran di mana pengetahuan atau pengalaman yang gres sanggup terkait dengan pengetahuan usang yang sudah ada di dalam struktur kognitif seseorang. Untuk membantu terjadinya pembelajaran bermakna, Bruner menyarankan biar proses pembelajaran melalui tiga tahap, yaitu tahap enaktif, tahap ikonik, dan tahap simbolik.

Empat tahap perkembangan kognitif siswa berdasarkan Piaget ialah (1) tahap sensori motor (0–2 tahun), (2) tahap pra-operasional (2–7 tahun), (3) tahap operasional faktual (7–11 tahun), dan (4) tahap operasional formal (11 tahun ke atas).  

Pada tahap sensori motor (0-2 tahun) seorang anak akan mencar ilmu untuk memakai dan mengatur acara fsik dan mental menjadi rangkaian perbuatan yang bermakna. Pada tahap ini, pemahaman anak sangat bergantung pada acara (gerakan) badan dan alat-alat indera mereka. Pada tahap pra-operasional (2-7 tahun), seorang anak masih sangat dipengaruhi oleh hal-hal khusus yang didapat dari pengalaman memakai indera, sehingga ia belum bisa untuk melihat hubungan-hubungan dan menyimpulkan sesuatu secara konsisten. Pada tahap operasional faktual (7-11 tahun), umumnya anak sedang menempuh pendidikan di sekolah dasar. Di tahap ini, seorang anak sanggup menciptakan kesimpulan dari suatu situasi nyata atau dengan memakai benda konkret, dan bisa mempertimbangkan dua aspek dari suatu situasi nyata secara bersamasama (misalnya, antara bentuk dan ukuran). Pada tahap operasional formal (lebih dari 11 tahun), acara kognitif seseorang tidak mesti memakai benda nyata. Tahap ini merupakan tahapan terakhir dalam perkembangan kognitif.

2. Belajar Bermakna David P. Ausubel

Teori mencar ilmu Ausubel menitikberatkan pada bagaimana seseorang memperoleh pengetahuannya. Menurut Ausubel terdapat 2 jenis mencar ilmu yaitu mencar ilmu hafalan (rote-learning) dan mencar ilmu bermakna (meaningfullearning). Jika seorang siswa berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya sanggup dinyatakan sebagai hafalan (rote) dan tidak akan bermakna (meaningless) sama sekali baginya. Pembelajaran yang mengacu pada ‘belajar bermakna’ atau ‘meaningful-learning’ ialah pembelajaran di mana pengetahuan atau pengalaman gres yang akan dipelajari siswa sanggup terkait dengan pengetahuan usang yang sudah dimiliki siswa.

3. Teori Presentasi Bruner

Bruner membagi penyajian proses pembelajaran dalam tiga tahap, yaitu tahap enaktif, ikonik, dan simbolik. Pada tahap enaktif, para siswa dituntut untuk mempelajari pengetahuan dengan memakai sesuatu yang “konkret” atau “nyata” yang berarti sanggup diamati dengan memakai panca indera. Contohnya, ketika akan membahas geometri ruang di awal pembelajaran, guru sanggup memakai alat peraga maupun barang sehari-hari semisal kaleng, dus, dll. Pada tahap ikonik, yakni sehabis mempelajari pengetahuan dengan benda nyata atau benda konkret, tahap berikutnya ialah tahap ikonik, dimana para siswa mempelajari suatu pengetahuan dalam bentuk gambar atau diagram sebagai perwujudan dari acara yang memakai benda faktual atau nyata tadi. Pada tahap simbolik para siswa harus melewati suatu tahap dimana pengetahuan tersebut diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol abstrak. Dengan kata lain, siswa harus mengalami proses berabstraksi. Berabstraksi terjadi pada dikala seseorang menyadari adanya kesamaan di atara perbedaan-perbedaan yang ada.

C. Teori Belajar Konstruktivisme

1. Model Penemuan

Bruner beropini bahwa mencar ilmu dengan inovasi ialah mencar ilmu untuk menemukan (learning by discovery is learning to discover). Ada dua model penemunaan, yaitu model inovasi murni dan model inovasi terbimbing. Model inovasi yang sanggup dikembangkan di kelas ialah model inovasi terbimbing di mana para siswa dihadapkan dengan situasi di mana ia bebas untuk mengumpulkan data, menciptakan dugaan (hipotesis), mencoba-coba (trial and error), mencari dan menemukan keteraturan (pola), menggeneralisasi atau menyusun rumus beserta bentuk umum, menandakan benar tidaknya dugaannya itu. Berbeda dengan model inovasi murni di mana mulai dari pemilihan taktik hingga pada jalan dan hasil inovasi ditentukan para siswa sendiri maka pada inovasi terbimbing ini, para guru bertindak sebagai penunjuk jalan, ia membantu dan memberi kemudahan bagi para siswanya sedemikian rupa sehingga mereka sanggup mempergunakan idea, konsep dan ketrampilan yang sudah beliau pelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru. Penggunaan serangkaian pertanyaan yang sempurna akan sangat membantu siswa untuk menemukan pengetahuan yang gres berdasar pada pengetahuan usang yang dipunyainya.

2. Model Saintifk

Pendekatan saintifk mencakup lima pengalaman mencar ilmu sebagaimana dijelaskan berikut ini.

a.    Mengamati (observing) di mana siswa difasilitasi untuk mengamati dengan indra (membaca, mendengar, menyimak, melihat, menonton, dan sebagainya) dengan atau tanpa alat.

b.    Menanya (questioning) di mana siswa difasilitasi untuk menciptakan dan mengajukan pertanyaan, tanya jawab, berdiskusi perihal isu yang belum dipahami, isu komplemen yang ingin diketahui, atau sebagai klarifkasi.

c. Mengumpulkan informasi/mencoba (experimenting) di mana siswa difasilitasi untuk mengeksplorasi, mencoba, berdiskusi, mendemonstrasikan, memalsukan bentuk/gerak, melaksanakan eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengumpulkan data dari nara sumber melalui angket, wawancara, dan memodifkasi/ menambahi/ mengembangkan.

d. Menalar/mengasosiasi (associating) di mana siswa difasilitasi untuk mengolah isu yang sudah dikumpulkan, menganalisis data dalam bentuk menciptakan kategori, mengasosiasi atau menghubungkan fenomena/informasi yang terkait dalam rangka menemukan suatu pola, dan menyimpulkan.

e. Mengomunikasikan (communicating) di mana siswa difasilitasi untuk menyajikan laporan dalam bentuk bagan, diagram, atau grafk; menyusun laporan tertulis; dan menyajikan laporan mencakup proses, hasil, dan kesimpulan secara lisan.

Sumber Pustaka

Doyin, Mukh dan Supriyono. 2015. Materi UKG Bahasa Indonesia 2015. Semarang: Bandungan InstituteA

Baca juga

1.      Soal UTN 2017 Teori Belajar Paket 1 DI SINI

2.      Soal UTN 2017 Teori Belajar Paket 2

0 Response to "Teori Mencar Ilmu (2)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel