-->

Iklan

Apa Saja 5 Krisis Penyebab Lahirnya Reformasi?

Materi Sekolah - Apa Saja 5 Krisis Penyebab Lahirnya Reformasi? - Sebab-sebab Lahirnya Reformasi - Kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok merupakan faktor atau penyebab utama lahirnya gerakan reformasi. Namun, problem itu tidak muncul secara tiba-tiba. Banyak faktor yang mempengaruhinya, terutama ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan hukum.

Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan impian Orde Baru. Pada awal kelahirannya tahun 1966, Orde Baru bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahan Orde Baru banyak melaksanakan penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan.

Penyimpangan-penyimpangan itu melahirkan krisis multidimensional yang menjadi penyebab umum lahirnya gerakan reformasi.

Krisis-krisis tersebut, yaitu krisis politik, hukum, ekonomi, sosial, dan krisis kepercayaan.

Krisis politik

Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari banyak sekali kebijakan politik pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang bekerjsama terjadi ialah dalam rangka mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya. Artinya, demokrasi yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi yang semestinya, melainkan demokrasi rekayasa.


Dengan demikian, yang terjadi bukan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa.

Pemerintahan Orde Baru selalu melaksanakan intervensi terhadap kehidupan politik. Misalnya, ketika Kongres Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menentukan Megawati Soekarnoputri sebagai ketua partai, sedangkan pemerintahan Suharto menunjuk Drs. Suryadi sebagai ketua PDI. Kejadian itu menjadikan keadaan politik dalam negeri mulai memanas. Namun, pemerintahan Orde Baru yang didukung Golongan Karya (Golkar) merasa tidak bersalah. Keadaan itu sengaja direkayasa oleh pemerintah dalam rangka memenangkan pemilihan umum secara mutlak menyerupai tahun-tahun sebelumnya.

Rekayasa-rekayasa politik terus dibangun oleh pemerintah Orde Baru sehingga pasal 2 Undang-Undang Dasar 1945 tidak sanggup dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pasal 2 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi bahwa: ‘Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat’. Namun dalam kenyataannya, kedaulatan ada di tangan sekelompok orang tertentu.

Anggota MPR sudah diatur dan direkayasa sehingga sebagian besar anggota MPR itu diangkat menurut ikatan kekeluargaan (nepotisme). Oleh lantaran itu, tidak mengherankan apabila anggota MPR/DPR terdiri dari para istri, anak, dan kerabat bersahabat para pejabat negara.

Keadaan itu menjadikan munculnya rasa tidak percaya masyarakat terhadap institusi pemerintah, MPR, dan DPR. Ketidakpercayaan itulah yang mengakibatkan lahirnya gerakan reformasi yang dipelopori para mahasiswa dan didukung oleh para dosen maupun kaum cendekiawan. Mereka menuntut biar segera dilakukan pergantian presiden, reshuffle kabinet, menggelar Sidang spesial MPR, dan melaksanakan pemilihan umum secepatnya.

Gerakan reformasi menuntut untuk melaksanakan reformasi total dalam segala bidang kehidupan, termasuk keanggotaan MPR dan dewan perwakilan rakyat yang dipandang sarat KKN.

Di samping itu, gerakan reformasi juga menuntut biar dilakukan pembaruan terhadap lima paket Undang-Undang Politik yang dianggap sebagai sumber ketidakadilan (lihat dalam bok di bawah ini). Keadaan partai-partai politik dan Golkar dianggap tidak bisa menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat Indonesia. Pembangunan nasional selama pemerintahan Orde Baru dipandang telah gagal mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Bahkan, pembangunan nasional menjadikan terjadinya ketimpangan politik, ekonomi, dan sosial.

Krisis politik semakin memanas, sesudah terjadi kejadian kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa itu sebagai akhir pertikaian internal dalam badan PDI. Kelompok PDI pimpinan Suryadi menyerbu kantor pusat PDI yang masih ditempati oleh PDI pimpinan Megawati. Peristiwa itu menimbulkan kerusuhan yang membawa korban, baik kendaraan, rumah, pertokoan, perkantoran, dan korban jiwa. Pada dasarnya, kejadian itu merupakan ekses dari kebijakan dan rekayasa politik yang dibangun pemerintahan Orde Baru.

Pada masa Orde Baru, kehidupan politik sangat represif, yaitu adanya tekanan yang berpengaruh dari pemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri kehidupan politik yang represif, di antaranya:
  1. Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh sebagai tindakan subversif (menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia).
  2. Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu atau demokrasi rekayasa.
  3. Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan masyarakat tidak mempunyai kebebasan untuk mengontrolnya.
  4. Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga negara (sipil) untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.
  5. Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Suharto dipilih menjadi presiden melalui Sidang Umum MPR, tetapi pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak demokratis.
Ciri-ciri itulah yang menjadi isi tuntutan atau jadwal reformasi di bidang politik. Sepanjang tahun 1996, telah terjadi pertikaian sosial dan politik dalam kehidupan masyarakat. Kerusuhan terjadi di mana-mana, menyerupai pada bulan Oktober 1996 di Situbondo (Jatim), Desember 1996 di Tasikmalaya (Jabar) dan di Sanggau Ledo yang meluas ke Singkawang dan Pontianak (Kalbar).

Ketegangan politik terus berlanjut hingga menjelang Pemilu Tahun 1997 yang bermetamorfosis konflik antar etnik dan agama. Pada bulan Maret 1997, terjadi kerusuhan di Pekalongan (Jateng) yang meluas ke seluruh wilayah Indonesia. Bahkan, kerusuhan di Banjarmasin meminta korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya. Keadaan itulah yang ikut mendorong lahirnya gerakan reformasi.

Kekecewaan rakyat semakin memuncak ketika semua fraksi di DPR/MPR mendukung pencalonan Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan 1998-2003. Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998, Suharto terpilih sebagai Presiden RI dan B.J. Habibie sebagai Wapres untuk masa jabatan 1998-2003. Bahkan, MPR menetapkan beberapa ketetapan yang memperlihatkan kewenangan khusus kepada presiden untuk mengendalikan negara. Semua itu tidak sanggup dipisahkan dari komposisi keanggotaan MPR yang lebih mengarah pada hasil-hasil nepotisme. Misalnya, menangkap orang-orang yang dianggap membahayakan kekuasaannya, pembentukkan Tim Penembak Khusus (Petrus), pembentukkan dewan-dewan untuk kepentingan kekuasaannya, dan sebagainya.

Kekecewaan masyarakat terus bergulir dan berusaha menekan kepemimpinan Presiden Suharto melalui banyak sekali demonstrasi. Para mahasiswa, anggota LSM, cendekiawan semakin murka ketika beberapa aktivitis ditangkap oleh pegawanegeri keamanan. Gerakan reformasi tidak sanggup dibendung dan dipandang sebagai satu-satunya tanggapan untuk menata kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik.

Lima Paket UU Politik yang dianggap sebagai penyebab terjadinya ketidakadilan, yaitu:

  1. UU No. 1/1985 ihwal Pemilihan Umum,
  2. UU No. 2/1985 ihwal Susunan, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang DPR/MPR,
  3. UU No. 3/1985 ihwal Partai Politik dan Golongan Karya,
  4. UU No. 5/1985 ihwal Referendum, dan
  5. UU No. 8/1985 ihwal Organisasi Massa.

Krisis hukum

Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde Baru tidak terbatas pada bidang politik. Dalam bidang hukumpun, pemerintah melaksanakan intervensi. Artinya, kekuasaan peradilan harus dilaksanakan untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh keadilan. Bahkan, aturan sering dijadikan alat pembenaran para penguasa. Kenyataan itu bertentangan dengan ketentuan pasa 24 Undang-Undang Dasar 1945 yanf menyatakan bahwa ‘kehakiman mempunyai kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif)’.

Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori para mahasiswa, masalah aturan telah menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang aturan biar setiap problem sanggup ditempatkan pada posisinya secara proporsional. Terjadinya ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat, salah satunya disebabkan oleh sistem aturan atau peradilan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Oleh lantaran itu, para mahasiswa menuntut biar reformasi di bidang aturan dipercepat pelaksanaannya. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah pilar terwujudnya kehidupan yang demokratis, sekaligus sebagai wahana untuk mengadili seseorang sesuai dengan kesalahannya.

Krisis ekonomi

Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara semenjak Juli 1996 mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ternyata, ekonomi Indonesia tidak bisa menghadapi krisis global yang melanda dunia. Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp 2,575.oo menjadi Rp 2,603.oo per dollar Amerika Serikat.

Pada bulan Desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun menjadi Rp 5,000.oo per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000,- per dollar.

Melemahnya nilai tukar rupaih menjadikan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan iklim bisnis semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan dan beberapa bank harus dilikuidasi pada simpulan tahun 1997. Untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI).

Ternyata, perjuangan pemerintah itu tidak sanggup memperlihatkan hasil lantaran pinjaman bank-bank bermasalah justru semakin besar. Keadaan di atas menjadikan pemerintah harus menanggung beban hutang yang sangat besar dan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia semakin menurun dan gairah investasi pun semakin melemah. Akibatnya, pemutusan korelasi kerja (PHK) terjadi di mana-mana. Angka penganggguran pun terus meningkat dan daya beli masyarakat terus melemah. Kesenjangan ekonomi yang telah terjadi sebelumnya semakin melebar seiring dengan terjadinya krisis ekonomi.

Kondisi perekonomian nasional semakin memburuk pada simpulan tahun 1997 sebagai akhir persediaan sembako semakin menipis dan menghilang dari pasar. Akibatnya, harga-harga sembako semakin tinggi. Kekurangan makanan dan kelaparan melanda beberap wilayah Indonesia, menyerupai di Irian Barat (Papua), Nusa Tenggara Timur, dan beberapa kawasan di pulau Jawa.

Untuk mengatasi problem itu, pemerintah meminta pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, pinjaman dana dari IMF belum sanggup direalisasikan. Padahal, pemerintah Indonesia telah menandatangani 50 butir kesepahaman, Letter of Intent (LoI) pada tanggal 15 Januari 1998.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak sanggup dipisahkan dari banyak sekali kondisi, seperti:

  1. Hutang Luar Negeri Indonesia. Hutang luar negeri Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi. Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi. Sampai bulan Februari 1998, sebagaimana disampaikan Radius Prawiro pada Sidang Pemantapan Ketahanan Ekonomi yang dipimpin Presiden Suharto di Bina Graha, hutang Indonesia telah mencapai 63,462 dollar Amerika Serikat, sedangkan hutang swasta mencapai 73,962 dollar Amerika Serikat.
  2. Pelaksanaan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah Orde Baru ingin menjadikan negara RI sebagai negara industri. Keinginan itu tidak sesuai dengan kondisi konkret masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agraris dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah (rata-rata). Oleh lantaran itu, mengubah Indonesia menjadi negara industri merupakan kiprah yang sangat sulit lantaran masyarakat Indonesia belum siap untuk bekerja di sektor industri. Itu semua merupakan kesalahan pemerintahan Orde Baru lantaran tidak sanggup melaksanakan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 secara konsisten dan konsekuen.
  3. Pemerintahan Sentralistik. Pemerintahan Orde Baru sangat sentralistik sifatnya sehingga semua kebijakan ditentukan dari Jakarta. Oleh lantaran itu, peranan pemerintah pusat sangat menentukan dan pemerintah kawasan hanya sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Misalnya, dalam bidang ekonomi, di mana semua kekayaan diangkut ke Jakarta sehingga pemerintah kawasan tidak sanggup berbagi daerahnya. Akibatnya, terjadilah ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah. Keadaan itu mempersulit Indonesia dalam mengatasi krisis ekonomi lantaran kawasan tidak tidak bisa memperlihatkan bantuan yang memadai.
Krisis sosial

Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik yang represif dan tidak demokratis mengakibatkan terjadinya konflik politik maupun konflik antar etnis dan agama. Semua itu berakhir pada meletusnya banyak sekali kerusuhan di beberapa daerah. Pelaksanaan aturan yang berkeadilan sering menimbulkan ketidakpuasan yang mengarah pada terjadinya demonstrasi-demonstrasi maupun kerusuhan. Sementara, ketimpangan perekonomian Indonesia memperlihatkan sumbangan terbesar terhadap krisis sosial. Pengangguran, persediaan sembako yang terbatas, tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya beli masyarakat merupakan faktor-faktor yang rentan terhadap krisis sosial.

Krisis sosial sanggup terjadi di mana-mana tanpa mengenal waktu dan tempat. Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah sanggup menjadi faktor penentu lantaran sebagian besar warga masyarakat tidak bisa mengendalikan dirinya. Sementara, para mahasiswa dan para cendekiawan dengan kemampuannya sanggup mengkritisi banyak sekali kebijakan pemerintah.

Untuk itu, salah satu jalan yang sering ditempuh ialah melaksanakan demonstrasi secara besar-besaran. Semangat para mahasiswa telah mendorong para buruh, petani, nelayan, pedagang kecil untuk melaksanakan demonstrasi. Semua itu merupakan sumber krisis sosial.

Demonstrasi-demonstrasi yang tidak terkendali menjadikan kehidupan di perkotaan diliputi kecemasan, rasa takut, tidak tenteram dan tenang. Situasi yang tidak terkendali telah mendorong sebagian masyarakat, terutama dari etnis Cina untuk menentukan pergi ke luar negeri dengan alasan keamanan.

Krisis kepercayaan

Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Suharto. Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan aturan dan sistem peradilan, dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaan.

Demonstrasi bertambah gencar dilaksanakan oleh para mahasiswa, terutama sesudah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak agresi mahasiswa terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang berlangsung secara tenang telah bermetamorfosis agresi kekerasan, sesudah tertembaknya empat orang mahasiswa, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Lesmana, Heri Hertanto, dan Hafidhin Royan. Sedangkan para mahasiswa yang menderita luka ringan dan luka parah pun tidak sedikit jumlahnya, sesudah bentrok dengan pegawanegeri keamanan yang berusaha membubarkan para demonstran.

Pada waktu peristiwa Trisakti terjadi, Presiden Suharto sedang menghadiri KTT G-15 di Kairo, Mesir. Masyarakat menuntut Presiden Suharto sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.

Pada tanggal 15 Mei 1998, Presiden Suharto kembali ke Tanah Air dan masyarakat menuntut biar Presiden Suharto mengundurkan diri. Bahkan, beberapa mitra terdekatnya mendesak biar Presiden Suharto segera mengundurkan diri. Dengan demikian, tuntutan pengunduran diri itu tidak hanya tiba dari para mahasiswa dan para oposisi politiknya.

Kunjungan para mahasiswa ke gedung DPR/MPR yang semula untuk mengadakan obrolan dengan para pimpinan DPR/MPR telah bermetamorfosis mimbar bebas. Para mahasiswa lebih menentukan tetap tinggal di gedung wakil rakyat itu, sebelum tuntutan reformasi total dipenuhinya. Akhirnya, tuntutan mahasiswa tersebut menerima tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR/MPR. Pada tanggal 18 Mei 1998, pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan biar Presiden Suharto mengundurkan diri. Namun, himbauan pimpinan DPR/MPR biar Presiden Suharto mengundurkan diri dianggap sebagai pendapat pribadi oleh pimpinan ABRI. Oleh lantaran itu, ketidakjelasan perilaku elite politik nasional telah mengundang banyak mahasiswa untuk berdatangan ke gedung DPR/MPR.

Untuk menyikapi perkembangan yang terjadi, Presiden Suharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian, Presiden Suharto mengumumkan ihwal pembentukan Dewan Reformasi, perombakan Kabinet Pembangunan VII, segera melaksanakan Pemilu, dan tidak bersedia dicalonkan kembali. Namun, perjuangan Presiden Suharto tersebut tidak sanggup dilaksanakan lantaran sebagian besar orang menolak untuk duduk dalam Dewan Reformasi dan seorang menteri menyatakan mundur dari jabatannya. Keadaan itu merupakan bukti bahwa Presiden Suharto telah menghadapi krisis kepercayaan, baik dari para mahasiswa, pelopor LSM, pihak oposisi, para cendekiawan, tokoh agama dan masyarakat, maupun dari kawankawan terdekatnya.

Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Suharto menyatakan mengundurkan diri (berhenti) sebagai Presiden RI dan menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden. Pada ketika itu juga Wapres B.J. Habibie diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia yang gres di Istana Negara.

0 Response to "Apa Saja 5 Krisis Penyebab Lahirnya Reformasi?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel