-->

Iklan

Sidang-Sidang Konstituante Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Materi Sekolah - Sidang-Sidang Konstituante Dekrit Presiden 5 Juli 1959 - Dekrit Presiden 5 Juli 1959 - Sidang-sidang Konstituante - Tujuan Pemilu tahun 1955 ialah membentuk dewan perwakilan rakyat dan Konstituante. Salah satu kiprah Konstituante ialah menyusun atau merumuskan Rancangan Undang-Undang Dasar (Rancangan UUD) sebagai pengganti UUDS 1950. Sesuai dengan sifatnya yang sementara, maka UUDS 1950 harus diganti dengan Undang-Undang Dasar yang bersifat tetap. Oleh alasannya ialah itu, sesudah sukses membentuk Konstituante melalui Pemilu 1955, maka Konsituante diperlukan sanggup melaksanakan tugasnya secara baik.

Untuk itu, para anggota Konstituante mulai bersidang pada tanggal 10 Nopember 1956. Sidang Konstituante yang dilaksanakan di Bandung dipimpin oleh Wilopo SH, dan telah dibuka secara resmi dengan Pidato Presiden Soekarno. Namun dalam kenyataannya, hingga tahun 1958 Konstituante belum berhasil merumuskan Rancangan Undang-Undang Dasar sebagaimana yang diharapkan.

Kegagalan Konstituante untuk merumuskan Rancangan Undang-Undang Dasar bukan alasannya ialah para anggota Konstituante tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugasnya, melainkan alasannya ialah terjadinya perbedaan pendapat di antara para anggota Konstituante mengenai isi Rancangan UUD. Oleh alasannya ialah itu, Sidang Konstituante cenderung dijadikan arena perdebatan antara para anggota Konstituante. Masing-masing anggota cenderung mengutamakan kepentingan partainya dan kurang memperhatikan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.

 Salah satu kiprah Konstituante ialah menyusun atau merumuskan Rancangan Undang Sidang-Sidang Konstituante Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Para anggota Konstituante terpecah menjadi dua kelompok utama, yaitu kelompok Islam dan kelompok non Islam (nasionalis dan sosialis). Ternyata, antara kedua kelompok tersebut tidak pernah tercapai kata setuju mengenai isi Rancangan UUD. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila Konstituante, karenanya gagal melaksanakan tugasnya. Dalam membangun kehidupan yang demokratis, perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang wajar. Namun, bukan berarti masing-masing pribadi, kelompok, golongan, dan/atau partai sanggup memaksakan kehendaknya.

Setiap perbedaan pendapat harus diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat. Oleh alasannya ialah itu, menyalahkan demokrasi liberal sebagai penyebab kegagalan Konstituante melaksanakan tugasnya merupakan aliran yang kurang bijaksana. Toh negara-negara Barat, demokrasi liberal sanggup dilaksanakan secara baik. Namun, adanya pendapat yang menyampaikan bahwa demokrasi liberal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia patut untuk dihargai.

Berdasarkan kenyataan di atas, maka perkara yang paling fundamental bergotong-royong terletak pada kesadaran masing-masing dalam menempatkan kepentingan langsung dan kepentingan umum (bangsa dan negara). Selama kepentingan langsung diletakkan di atas segala-galanya, maka demokrasi model manapun tidak akan berhasil membangun kehidupan yang demokratis. Oleh alasannya ialah itu, demokrasi harus diartikan sebagaimana pengertian dasarnya, yaitu kekuasaan rakyat. Artinya, masing-masing pihak harus sanggup mendapatkan pendapat pihak lain. Dengan kata lain, apabila kepentingan bangsa dan negara diletakkan di atas segala-galanya, pasti kehidupan yang demokratis sanggup diwujudkan.

Seiring dengan kegagalan Konstituante merumuskan Rancangan UUD, di luar ruang Sidang Konstituante berkembang pemikiran-pemikiran yang semakin berpengaruh untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Pawai, rapat umum, petisi, dan demonstrasi yang menuntut biar Undang-Undang Dasar 1945 diberlakukan kembali dilancarkan di mana-mana. Dalam menanggapi tuntutan tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan gagasan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dan pelaksanaan demokrasi terpimpin.

Keinginan-keinginan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 menerima sumbangan dari pimpinan ABRI (dalam hal ini Mayor Jenderal A.H. Nasution). Kemudian pimpinan ABRI menggerakkan Dewan Menteri untuk mendesak Konstituante biar segera tetapkan Undang-Undang Dasar 1945 secara konstitusional. Dewan Menteri mengadakan sidang pada tanggal 19 Februari 1959 dan menghasilkan keputusan mengenai pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.

Keputusan Dewan Menteri itu mengandung tiga hal pokok, yaitu:
  • (1) wacana Undang-Undang Dasar 1945,
  • (2) mekanisme kembalinya ke Undang-Undang Dasar 1945, dan
  • (3) wacana masuknya golongan fungsional ke dalam DPR. Artinya, perlu adanya pengangkatan calon anggota dewan perwakilan rakyat dari partai politik dan dari golongan fungsional yang penempatannya diselang-seling secara bergantian.
Di samping itu, diusulkan untuk mengangkat anggota dewan perwakilan rakyat dari Golongan ABRI oleh Presiden. Sementara, untuk membantu tugas-tugas Presiden perlu dibuat Front Nasional dengan Keputusan Presiden.

Berdasarkan perkembangan tersebut, pada tanggal 25 April 1959 Presiden Soekarno memberikan amanat di depan Sidang Konstituante yang berisi proposal untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Amanat Presiden itu diperdebatkan dalam Konstituante dan karenanya diputuskan untuk melaksanakan pemungutan bunyi sesuai dengan pasal 137 UUDS 1950.

Pemungutan bunyi pun dilaksanakan hingga tiga kali, namun gagal mencapai dua pertiga (2/3). Dengan demikian, upaya untuk tetapkan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 secara konstitusional mengalami kegagalan. Terjadilah suasana yang menegangkan dan ada partai politik yang menyatakan tidak mau tiba lagi ke Sidang Konstituante.

Menanggapi perkembangan yang terjadi di dalam Konstituante, maka Presiden Soekarno menganggap situasi yang terjadi sebagai keadaan darurat. Itulah situasai yang melatarbelakangi dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

0 Response to "Sidang-Sidang Konstituante Dekrit Presiden 5 Juli 1959"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel